Kebijakan pemerintah dan DPR terkait penyelesaian lumpur Lapindo mulai
sejak terjadinya semburan pada 29 Mei 2006 lalu tidak pernah tuntas, persoalan
ganti rugi yang tidak kunjung tuntas, maupun persoalan wilayah yang menjadi terdampak juga tidak pernah ada titik temu. Bahkan wilayah yang menjadi korban
terdampak kini menjadi lebih luas.
Wakil Rakyat di senayan dan pemerintah tidak pernah tegas dan cinderung
abu-abu, pemerintah melupakan persoalan lumpur Lapindo yang sudah menjadi
sorotan dan perhatian dunia. Para ahli juga angkat bicara mengenai persoalan
lumpur Lapindo, para pakar dari berbagai negara bahkan memberikan Laporan
konfrensi pada pertemuan AAPG di Cape Town di Afrika selatan tentang Lumpur
Lapindo Sidoarjo 28 Oktober 2008 tahun lalu.
”42 AHLI DUNIA BERPENDAPAT LUMPUR SIDOARDJO
DIAKIBATKAN OLEH KESALAHAN PEMBORAN DAN HANYA 3 AHLI YANG SETUJU KARENA GEMPA BUMI”
Pemerintah dan DPR terus menggelontorkan uang rakyat untuk membiayai
semburan lumpur Lapindo, kebijakan yang dikeluarkan presiden juga tidak tegas
dan jelas justru terkesan melindungi kepentingan Lapindo daripada rakyat
Porong.
Status yang tidak jelas dan menggantung itu sebenarnya menjadi pertanyaan
untuk wakil rakyat disenayan, karena biaya yang diambil dari APBN sebesar 1.2
trilyun tahun 2010, terus dikucurkan dan akan terus bertambah, selama lumpur
Lapindo terus mengeluarkan semburan lumpur panas Lapindo dan kemungkinan akan
berlangsung selama lebih dari 30 tahun.
Penilaian yang sederhana jika bencana yang ditimbulkan karena kesalahan
pengeboran dari PT. Lapindo Brantas Inc, mengapa uang rakyat terus dikucurkan
dan akan terus mengalir untuk kepentingan orang atau kelompok yang seharusnya
menerima sanksi pidana maupun perdata. Trilyunan rupiah uang rakyat Indonesia
akan terus digelontorkan untuk persoalan lumpur Lapindo.
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang ditunjuk pemerintah untuk
penanganan lumpur Lapindo juga tidak bisa maksimal karena bersifat sementara
atau darurat, BPLS yang seharusnya menjadi jembatan untuk persoalan sosial
masyarakat terdampak, malahan lebih sibuk dengan urusan teknis di tanggul
penahan lumpur Lapindo dan proyek yang di fasilitasi BPLS, persoalan sosial
masyarakat nyaris terabaikan.
Pemerintah dan DPR “ Setengah
Hati “
Keraguan Pemerintah mengenai persoalan Status Hukum itu
lama dan terus dibiarkan tidak jelas arahnya. Pemerintah dan DPR sejak awal
tidak pernah tegas dengan proses penyelesaian korban Lapindo, lebih membela
kepentingan Lapindo Brantas Inc dan pemiliknya daripada warga porong yang
terdampak, dan pengakuan “Lapindo Brantas Inc yang tidak mampu mengganti
seluruh kerugian akibat semburan lumpur itu” dianggap bisa diterima dikalangan
para pihak yang terkait mulai dari Kejaksaan, POLRI sampai di tingkat Mahkamah
Agung dan kalangan elite politik maupun para tokoh.
Sampai sekarang ini kerugian infrastruktur yang sangat
besar harus ditanggung oleh pemerintah beban sekitar Rp. 5.2 triliun sudah
digelontorkan ke kantong BPLS, dan sementara Lapindo Brantas Inc yang mayoritas
sahamnya dimiliki Aburizal Bakrie dan Grup usahanya tersebar diseluruh
Indonesia hanya dibebankan membayar ganti rugi aset warga yang ditentukan dalam
Perpres 14 tahun 2007. Seperti diungkapkan oleh Menteri Pekerjaan Umum saat itu,
Djoko Kirmanto. Anggaran yang sudah dikeluarkan untuk BPLS pada tahun 2007 yang
sebesar Rp. 500 milyar, pada tahun 2008 Sebesar Rp. 1.1 triliun, pada tahun
2009 sebesar Rp. 1.14 triliun, pada tahun 2010 sebesar Rp. 1.21 triliun dan
pada tahun 2011 sebesar 1.28 triliun.
Mengingat lamanya dan dampak semburan lumpur Lapindo
yang tidak bisa diprediksi, banyak menimbulkan spekulasi dan prespektif yang
beraneka ragam dari berbagai kalangan, termasuk DPR, sedikit saja dari kelompok
masyarakat yang masih konsisten tetap menyikapi dengan kritis soal tidak
jelasnya atau ABU-ABU lumpur Lapindo. Geologi Andang Bachtiar dan Ruby
Rubiandini sangat menyayangkan sikap Pemerintah, BPLS dan DPR yang tidak pernah
terbuka dan konsisten untuk pengukapan yang akurat tentang keadaan lumpur
Lapindo Sidoarjo.
Tragedi lumpur Lapindo dan persoalannya seperti
disengaja untuk tidak diselesaikan secara baik dan betul oleh Pemerintah dan
DPR, tidak adanya pengawasan dan perhatian yang serius untuk persoalan
pembayaran ganti rugi aset dan lahan warga yang menjadi tanggung jawab Lapindo
Brantas Inc. Membuat Lapindo Brantas Inc semakin bergairah untuk terus mengeksploitasi
kekayaan Sidoarjo dan seakan-akan lari dari tanggung jawabnya, ratusan kali
Lapindo yang melalui juru bayarnya PT. Minarak Lapindo Jaya (MLJ) selalu
berjanji dan janji.
Aset pemerintah daerah, aset Desa dan aset warga yang
lain seperti pondok pesantren, sekolah tidak mendapatakan perhatian dari BPLS,
lebih dari 33 sekolah, Tanah negara, Jalan Desa, dan Balai Desa ataupun tanah
kas desa, sampai sekarang tidak mendapatkan kompensasi ataupun ganti rugi,
dunia pendidikan hancur Pemerintah dan DPR diam saja.
Ganti rugi warga yang harus dibayar MLJ hingga saat ini
juga tidak jelas kapan segera tuntas, janji itu selalu diingkari MLJ sendiri
meski Presiden sudah membuat PERPRES, MLJ terkesan acuh melanggar kesepakatan
dan aturan yang dibuat sendiri maupun dalam PERPRES, melihat kondisi seperti
ini Pemerintah dan DPR tidak pernah mengambil keputusan dan sikap yang tegas,
sepertinya Pemerintah dan DPR tutup mata pada persoalan penyelesaian pembayaran
ganti rugi terhadap korban Lapindo yang masuk peta terdampak.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.