"5 Tahun Semburan lumpur Lapindo berlalu, begitu dasyat dampaknya semburan panas yang keluar di areal sumur Banjarpanji 1 milik PT Lapindo Brantas Inc. Tidak kujung ada kepastian dan kejelasan proses pembayaran ganti rugi tersebut, justru meninggalkan segudang persoalan Inmaterial bagi korban lumpur Lapindo"
Tragedi kemanusian
semburan lumpur panas Lapindo yang terjadi di porong 5 tahun yang lalu, di
areal pengeboran sumur Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc. Hal
tersebut membuktikan kurang seriusnya PT. Lapindo Brantas Inc, dalam melakukan upaya
untuk menutup semburan lumpur panas Lapindo dan serta memberikan ganti rugi
kepada korban lumpur Lapindo. Tidak hanya itu, sejak lumpur panas Lapindo
menyembur dari sumur eksplorasi Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc,
tanggal 29 Mei 2006 lalu, kini sudah menenggelamkan lebih 9 desa, kurang lebih
90.000 ribu jiwa terpaksa harus meninggalkan rumahnya.
PT. Lapindo
Brantas Inc, sampai sekarang masih beranggapan tidak bersalah atas kejadian
tragedi semburan lumpur panas yang ditimbulkan dari sumur eksplorasi
Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc, warga terus melakukan aksi turun
jalan dan melakukan pemblokiran jalan raya porong dan rel kereta api, tekanan
juga di lakukan oleh seluruh media nasional dan internasional, akhirnya
pemerintah membentuk tim untuk menangi dampak tersebut, melalui Keppres 13 tahun 2006 Timnas lumpur
Sidoarjo segera melakukan pemetaan area pad wilayah terdampak, dan terbitlah
peta tersebut pada 4 Desember 2006 dan
22 maret tahun 2007, dan melakukan berbagai upaya untuk menutup semburan
lumpur Lapindo, karena tidak mendapatkan kejelasan tentang ganti rugi asetnya,
warga semakin gencar melakukan aksi unjuk rasa, akibat desakan tersebut
pemerintah menerbitkan Perpres 14 tahun
2007 sebagai upaya penanganan dan memberikan ganti rugi aset warga di
wilayah peta terdampak, dengan sistem pembayaran skema jual-beli yang dilakukan
secara bertahap dengan 20% persen dibayarkan dimuka, dan sisanya (80% persen
tidak disebutkan) akan dibayarkan paling lambat 1 bulan sebelum masa kontrak
yang di berikan PT. Lapindo Brantas Inc selesai. (uang kontrak yang diberikan
Lapindo kepada warga adalah 2 tahun, sejak 2006 dan berakhir masa kontrak pada
tahun 2008).
Sampai saat ini
masih banyak korban lumpur Lapindo yang belum menerima pembayaran 20% persen
dan 80% persen dari Lapindo, serta macetnya cicilan 15 juta perbulan pembayaran
80% persen lebih dari 9 bulan dari PT. Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar
PT. Lapindo Brantas Inc. Membuat penderitaan korban lumpur Lapindo semakin
panjang dan terjerumus kedalam kehidupan yang tidak menentu, hutang pada
rentenir semakin bertambah besar, tidak dapat memberikan nafkah kepada
keluarga, tidak dapat membiaya anaknya sekolah, berhentinya usaha, kehilangan
lahan pertanian, berhentinya sektor usaha-usaha kecil, pracangan, bengkel, dan
tidak bisa mengembangkan kembali usaha-usaha mereka, tidak dapat membayar
cicilan kendaraan bermotor, banyakanya pengangguran. Kondisi ini membuat warga
tertekan dan banyak warga yang mengalami stres akibat dan meninggal dunia
akibat keterbatasan ekonomi.
Dunia pendidikan
di porong hancur akibat dampak semburan lumpur Lapindo, tidak adanya perhatian
atau pemulihan dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat melalui
Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Lapindo juga tidak memberikan
kompensasi maupun ganti rugi terhadap aset 33 sekolah yang sudah ditenggelamkan
oleh semburan lumpur panas yang keluar dari areal pengeboran sumur Banjarpanji
1 milik PT. Lapindo Brantas Inc.
DAMPAK INMATERIAL YANG DI ALAMI KORBAN LUMPUR LAPINDO
- EKONOMI
BAKSO PAK KUMIS
Pak Agus Suprianto alias Kumis (45 tahun) korban lumpu Lapindo asal Desa Jatirejo, memiliki usaha
yang sudah dirintis sejak tahun 1980, pedagang bakso asli Solo yang mangkal di depan ‘pabrik jam
Marsinah’, merasakan betul dampak dari semburan lumpur Lapindo. Setelah 26 tahun, lumpur Lapindo membuat usaha itu
tenggelam begitu saja bersama kenangan kejayaan yang pernah ia rasakan.
Pada awal tahun 2000, Pak Kumis memiliki 7 warung bakso, 2 warung bakso di Desa Mindi dan Desa Siring, Kecamatan
Porong, dan 5 gerobak bakso yang didorong keliling di desa-desa yang kini telah terendam lumpur Lapindo
(Jatirejo, Siring, Renokenongo dan Kedungbendo). Untuk bahan bakunya pembuatan bakso setiap hari Pak Kumis menghabiskan 60 kilogram daging sapi segar untuk seluruh warungnya. Bahkan bisa mencapai 100 kilogram pada saat lebaran. Pendapatan yang diperolehnya Rp 2-3 juta per hari. Pak Kumis juga bisa mempekerjakan 9 orang karyawan
yang ia datangkan dari Solo.
Dengan pendapatan
yang begitu besar, pak Kumis bisa membeli tanah dan membangun rumah di Desa
Jatirejo RT12 RW 03. Dan sudah tidak mengontrak rumah lagi, tapi sudah
membangun rumah sendiri di Desa Jatirejo. Namun semua impian hancur begitu
saja, ketika sumur gas Banjarpanji 1 mengalami kebocoran. Pembayaran sebesar
20% persen dari jual-beli aset yang dimiliki. Karena jelas tak akan cukup, pak Kumis tidak
bisa membeli rumah lagi. Ia menggunakannya
untuk membayar hutangnya selama di pengungsian, pak Kumis banyak berhutang ke
saudaranya yang di Solo, baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun
untuk modal membangun usaha kembali-yang akhirnya juga dihajar lumpur itu.
Pak Kumis memilih untuk
menggadaikan sertifikat rumah keluarganya yang di Solo untuk menambah modal
guna merintis kembali usaha yang telah terendam lumpur panas Lapindo. Dengan
uang hasil menggadaikan sertifikat itu, pak Kumis langsung membuat 3 warung bakso yang masing-masing terletak di
Desa Lajuk, Desa Mindi dan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong.
Pek Kumis merasa,
perjuangannya untuk kembali ke kehidupan semula sungguh sulit diwujudkan.
Apalagi, Lapindo dan Pemerintah tak menepati janji untuk melunasi sisa
pembayaran 80% persen atas tanah dan bangunan warga.
Pak Kumis mengikuti kemauan Lapindo, yang memaksakan skema pembayaran 80% persen dengan cicilan 15 juta rupiah per bulan.
Pak Kumis harus membagi uang cicilan tersebut untuk tiga keluarga yang lain.
Sebab surat rumahnya di Desa Jatirejo masih menjadi satu dengan surat pemilik
tanah sebelumnya. Ada empat rumah, tapi berada dalam satu berkas surat. Bayangkan berapa rupiah yang saya terima setiap bulan, Pak
Kumis tidak bisa menikmati uang itu apalagi untuk mengembangkan usaha.
Pak Kumis masih terpuruk, meski Lapindo sudah berkoar-koar kalau korban lumpur telah
kaya raya. Dan pak Kumis tidak sendiri. Ia hanya salah satu dari ribuan masalah yang
timbul di Porong dan sekitarnya akibat lumpur laknat Lapindo. (Miftakhul Fahmi)
GULUNG TIKAR
Mutomaroh (30
tahun) ibu dua putra, korban lumpur Lapindo asal Desa Kedungbendo dulunya
mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas, sebelum terjadi semburan lumpur
Lapindo yang menengelamkan desanya, Mutomaroh mampu hidup lebih dari cukup
dan dapat memberikan tunjangan hari raya kepada 6 orang anak buahnya. Usaha
yang digelutinya merupakan usaha turun temurun yang sudah lama dirintis
keluarganya, sekarang usahanya gulang tikar dan langsung berhenti total akibat
semburan lumpur Lapindo, semua peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada
temannya di pasuruan, dengan harapan bisa dipakai lagi untuk usaha jika sudah
mendapatkan modal dari ganti rugi dari Lapindo.
Harapan tingal
harapan, karena usahanya yang dulu digeluti sudah tidak mungkin dikerjakan
lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan
sehari-hari, namun, segala kesulitan akan bertambah panjang dan semakin lama
lagi, setelah 5 tahun Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar ganti
rugi. Menurut mbak Waroh dia mengingkan ganti rugi yang adil “ seharusnya
pendapatan yang hilang akibat tidak bisa bekerja selama ini, harus di hitung.”
Kerugian inmaterial membuat kesulitan dan tidak nyaman denagn hidup terpaksa
mereka menjalaninya.
Karena itu, dia
meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak PT. Minarak lapindo Jaya segera
menyelesaikan pembayaran sisa 80 persesnnya secara tunai. “Uang itu nantinya
akan di gunakan untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha kami yang dulu.“
dan segera bisa menikmati kebahagian dan berbagi senyum di hari raya seperti
sebulum terjadi semburan lumpur Lapindo.
HABISLAH PENDAPATANKU
Masyarakat
Sidoarjo hidup dengan penghasilan yang terus berkembang dari sektor tambak itu
setidaknya sebelum lumpur panas menyembur pada 29 Mei 2006 akibat kesalahan
pengeboran PT. Lapindo Brantas. Perlahan tapi pasti lumpur panas Lapindo
bergerak perlahan menenggelamkan dan menghancurkan segala apa yang menghalangi
lajunya: rumah, sawah, pekarangan, tambak. Tanggul penahan lumpur, yang
dibangun berkali-kali, tak sanggup lagi menahan lumpur panas yang keluar dari
pusat semburan hingga 100 ribu m3 perhari itu.
Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memutuskan untuk mengalirkan lumpur ke
Sungai Porong pada akhir tahun 2006 tanpa berfikir
dampak yang akan ditimbulkan. Kebijakan BPLS membuang lumpur ke Sungai Porong akan
membuat warga di sepanjang aliran sungai meradang. Mayoritas warga Jabon yang tinggal di sepanjang aliran
sungai Porong hidup dari membudidayakan berbagai jenis ikan air asin di tambak
mereka. Selain juga sawah dan tambang pasir tradisional di Desa Permisan,
Kecamatan Jabon yang memanfaatkan aliran Sungai Porong yang juga merugi karena
di dasar Sungai Porong kini terdapat lumpur.
Tambak mengalami
kerusakan parah. Bahkan di tempat yang jauh dari pusat semburan. Desa
Tegalsari, Jabon. Desa ini berada
tepat di ujung Sungai Porong. Seluruh warganya hidup dari hasil tambak.
Kerusakan tambak di Desa Tegalsari terjadi tepat pasca BPLS mengalirkan lumpur
panas ke Sungai Porong. Pendapatan masyarakat menurun menyusul hasil panen ikan
yang tak sesuai harapan. Samijan (41 tahun) adalah salah satu dari warga
Tegalsari yang membudidayakan ikan di tambaknya. Di desa yang belum dialiri
listrik itu, Samijan mengahabiskan hari-harinya merawat tiga buah tambak yang
luas total mencapai 29 hektar yang disewanya sebesar 10 juta selama enam tahun
bersama istri dan ketiga anaknya. Ia juga membudidayakan kepiting dan rumput
laut di samping udang dan bandeng sebagai komoditi utama.
Lumpur panas Lapindo datang dan dialirkan ke Sungai Porong, mengaliri dan mencemari ribuan hektar tambak di
Kecamatan Jabon. Desa dan tambak yang terletak 20 kilometer dari pusat semburan
itu menerima dampak dari lumpur Lapindo termasuk 29 hektar tambak yang disewa
Samijan. Secara perlahan Lumpur masuk ke
tambak-tambak milik Samijan. Banyak ikan yang mati sebelum panen. Ukuran ikan
setiap kali panen mengalami penurunan, sehingga pendapatan per panen menurun
seiring harganya turun di pasaran. Tidak ingin merugi, Samijan dan warga
lainnya melakukan berbagai macam cara. Ikan tetap saja
mati.
Lambat laun,
lumpur Lapindo yang mengendap di
tambak-tambak mulai tebal dan membuat rumput laut yang dibudidayakan mati.
Sekarang Samijan tak lagi menanam rumput laut karena air sudah sudah tercemar
oleh lumpu Lapindo. Selain rumput laut yang mati, kepiting, udang dan bandeng
tidak bisa tumbuh ke ukuran normal. Kerugian ratusan juta pun tak bisa
dihindari. Seluruh warga Tegalsari tak pernah menyangka tambak yang berada 20
km dari pusat semburan itu juga menerima dampak dari semburan lumpur panas
Lapindo. Samijan menuturkan kalau saat-saat itu adalah masa sulit yang pernah
ia alami selama ia menjadi petambak sejak awal tahun 80-an.
Tidak hanya pendapatan
Samijan dan warga Tegalsari lain yang menurun karena tambak mereka telah
tercemar lumpur Lapindo, mereka juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk
tetap menjaga keberlangsungan mata pencaharian utama itu. Warga Tegalsari
yakin, matinya ikan-ikan mereka itu disebabkan oleh semakin tebalnya lumpur
yang mengendap di dasar tambak di Desa Tegalsari. Pernah satu kali tambak di
Desa Tegalsari didatangi oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan setempat pada
tahun 2007.
Kedatangan dinas terkait ke Tegalsari bermaksud untuk memberi solusi dan
menjanjikan bantuan ke warga untuk mengangkat lumpur yang mengendap di
tambak-tambak warga Tegalsari, tapi sampai sekarang apa yang pernah dijanjikan
tak pernah terjadi. (Miftakhul Fahmi)
PENGANGGURAN JADI MOMOK
Arya (39 tahun)
korban lumpur Lapindo asal Perum Tangulangin Anggun Sejahtera (TAS) 1 Desa
Kedungbendo, pak Arya bekerja pada salah satu perusahaan jamu ternama di
Surabaya. Memiliki jabatan dan penghasilan yang besar ia juga memiliki usaha
agen sembako di areal Perumahan yang terkenal perumahan paling besar di seluruh
Jawa Timur, tahun 2003 ia mulai menempati rumah yang dibelinya dari keringatnya
bekerja selama 19 tahun di perusahaan tersebut.
Tidak disangka
setelah 10 tahun menikmati kesuksesan yang diraih pak Arya selama 19 tahun ia
bekerja, hancur begitu saja di terjang Semburan lumpur Lapindo yang
menenggelamkan rumah dan usahanya yang di rintis selama 3 tahun lalu. Tragedi
lumpur Lapindo membuat sifat temperamennya semakin naik dan gampang mengumbar
emosi dan marah, ia semakin geram saat Lapindo menolak memberikan ganti rugi
aset milik warga perum TAS 1 dan ia bergabung dengan warga yang lain untuk
berjuang menuntut kejelasan dan kepastian tentang ganti rugi aset-asetnya, dan
ia pun harus mengungsi ke pasar baru porong bersama warga perum TAS yang
lainnya.
Setiap hari
bersama warga melakukan unjuk rasa dan pak Arya pun jarang masuk bekerja,
bahkan terguran serta surat peringatan dari perusahaanya diacuhkan. 1 tahun ia
lewati dengan berjuang untuk menuntut keadilan dari Lapindo agar segera
memberikan ganti rugi, sampai ia harus rela kehilangan pekerjaan dari
perusahaan. Pak Arya mendapatkan kompensasi yang tidak begitu besar dari
perusahaannya dan hanya cukup untuk biaya hidup dengan istri dan 3 anaknya
selama di pengusian. Meskipun pada akhirnya Lapindo memberikan ganti rugi atas
tanah dan bangunan, itupun membutuhkan waktu 1 tahun setengah untuk bisa
diterimanya ganti rugi sebesar 20% persen, ia lantas mengontrak rumah di sudut
barat Sidoarjo dan membayar hutang-hutang selama ia hidup dipengusian.
Dengan sisa-sisa
uang dari Lapindo ia mencoba merintis kembali usaha dengan membuat toko di
rumah yang ia sewa selama 2 tahun itu, dan sisanya ganti rugi 80% persen ia
bersama warga lain sepakat dengan skema yang di tawarkan Lapindo dengan
jual-beli 80% persen yang ia miliki untuk dibelikan rumah yang di bangun
oleh Lapindo di Kahuripan Nirwana Village di tengah kota Sidoarjo. Dengan
harapan yang begitu besar setelah memiliki rumah kembali, pak Arya mencoba
bangun usahanya lagi di perumahan Kahuripan Nirwana rumah yang baru 2 tahun ia
tempati ternyata tidak semudah itu langsung bangkit dari merasakan kemakmuran
hidupnya justru malah membuat pak Arya tambah frustasi. Pak arya pun berharap
segera menerima sertifikatnya dengan harapan dapat ia gunakan sebagai jaminan
pinjaman modal ke salah satu Bank yang ada di Sidoarjo.
3 tahun menanti
sertifikat rumahnya yang ia beli dengan tunai tak kunjang ada kejelasan dari
Lapindo, sedangkan usahanya yang pak Arya bangun di rumahnya tersebut tidak
dapat berkemabang karena mayoritas warga yang ada di areal wilayah rumahnya pun
memiliki usaha yang sama, semakin lama usahanya pun harus ia relakan untuk
tutup dan tidak di lanjutkan kembali dan beralih profesi untuk bisa menutupi
biaya kehidupan yang sangat tinggi. Ia pun bersama warga yang lainnya untuk
ikut menjadi tukang ojek di perumahan tersebut, penghasilan yang didapat pak
Arya jauh dari harapan karena hanya cukup untuk makan saja, pak Arya sedih jika
melihat anaknya tidak dapat bersekolah lagi. Ia sangat geram dengan Lapindo,
bersama warga Kahuripan Nirwana turun ke jalan lagi untuk meminta kepastian
sertifikat rumahnya. Dengan harapan sertifikat rumah itu dapat ia gunakan untuk
modal usaha.
- SOSIAL
HILANGNYA HARMONISASI
Suasana harmonis
hilang setelah lumpur Lapindo datang, warga desa yang semula rukun kemudian
saling bermusuhan dan terjadi bentrok antar desa, semisal warga Desa Besuki
bentrok dengan warga Desa Renokenongo, bentrokan terjadi akibat dipicu oleh
penolakan warga masing-masing Desa terhadap pembuangan lumpur, kedua belah
pihak melakukan aski saling lempar batu dan sabetan senjata tajam pun terjadi,
banyak korban luka-luka dalam bentrokan tersebut, diantaranya Faisol (26
tahun) dari Desa Besuki, kepalanya bocor akibat lemparan batu.
Irsyad (43 tahun),
warga Desa Besuki Timur Tol membuat spanduk mengatakan jika warga ingin keadilan maka warga harus
bersatu. Mungkin dengan cara
ini warga bisa bersatu. Tanpa disangka Kepala Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon,
membuat keributan dengan cara menyingkirkan sirtu yang menghalangi jalan. Warga
Desa Besuki marah. Irsyad menemui kepala desa dan tanpa disangka kepala desa
mendaratkan pukulannya ke kepala Irsyad. Sontak warga Besuki berteriak, tak ada yang berusaha menghentikan kejadian tersebut. Terlihat warga Besuki Barat Tol tertawa melihat semua
itu. Kepolisian Jabon dan para TNI turun tangan untuk mendamaikan. Kepala Desa
Keboguyang yang mewakili desanya berkata kalau desanya akan tenggelam jika aksi
blokir jalan ini terus berlangsung. Alasan yang kurang logis. Jika memang desanya tenggelam pasti akan menenggelamkan
Desa Besuki terlebih dahulu yang jaraknya memang dekat dengan tanggul.
Karena pihak
kepolisian tidak sanggup membubarkan aksi warga, mereka menghasut warga di desa
lain untuk membubarkan aksi yang telah berlangsung selama 1 bulan ini. Kepala
Desa Keboguyang dicurigai warga bersekongkol dengan intel Polres untuk membubarkan aksi tersebut. pada saat seperti itu sangat terlihat sekali bahwa
warga Barat Tol tidak mendukung aksi blokir jalan itu karena mereka menganggap
Timur Tol bukan termasuk korban dan tidak berhak menuntut apa pun.
Indikasi
kesengajaan baik dalam kasus bentrok antar desa dan pemukulan yang dilakukan
Kepala Desa Keboguyang ini memang dirasakan oleh ayah beranak 3 ini. Peran pemerintah dalam menangani kasus terutama terhadap
penanganan masalah lumpur Lapindo terlihat lamban. Bentrok yang terjadi antar warga desa tersebut merupakan
rencana tersembunyi. Pemerintah dan Lapindo mempunyai provokasi yang sengaja
diturunkan untuk menghasut warga terutama para korban lumpur Lapindo. Baik Pemerintah maupun Lapindo memang tidak menginginkan
jika warga bersatu. Karena jika warga bersatu mereka takut warga akan membuat
kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang melebihi kekuatan aparat-aparat
mereka. Kekuatan yang akan menghancurkan mereka. (Daris Ilma)
HANCURNYA KERUKUNAN AKIBAT DUA PULUH PERSEN 20%
Berselisih paham
akibat menuntut pembagian hasil 20% ganti rugi yang di terima orang tuannya,
seperti terjadi keluarga Senadji (53 tahun) warga siring, kedua anaknya harus
berselisih paham dan bahkan saling adu pukul, Senadji mengalami stres berat dan
akhiranya sakit hingga sekarang, dampak akibat melihat kondisi kerukanan dalam
keluarganya sudah mulai hilang dan menjalar sampai kepada istrinya yang meminta
cerai kepada sang suami.
Banyaknya tuntutan
anaknya dan keluarganya pak Senadji berusaha sabar dan mencoba tenang, tanpa
sepengetahuan keluarganya pak Sendaji membangun usahanya dari hasil menerima
20% persen dari jual-beli asetnya, pak Senadji mengontrak rumah di perumhan
pinggiran Sidoarjo dan membeli kendaraan bermotor dan digunakan modal untuk
berkulakan minyak gas, sisanya diberikan semua kepada anak-anaknya dan
istrinya. Sepertinya keluarganya juga masih belum berubah dan segera bangun
dari kehancuran akibat lumpur Lapindo.
Hingga kini Pak
Senadji harus berjuang sendirian untuk bisa bertahan hidup, meskipun dalam
kondisi yang sudah tidak seperti sebelum adanya semburan lumpur Lapindo, rasa
trauma dan stres selalu menghantui jika dia mengingat kembali apa yang terjadi
dalam keluarganya, aset ganti rugi yang dia miliki tidak sedikit dan ia
merelakan semuanya untuk di ambil oleh anak-anaknya dan istrinya.
Pak Senadji tidak
mau terlarut dalam kesedihan, ia terus berusaha membangun usaha yang baru
dirintisnya. Pedihnya perjalanan yang dia alaminya sedikit demi sedikit dapat
terlupakan, karena sakit yang terus mengerogoti tubuhnya modal yang ia gunakan
untuk membangun usahanya selalu berkurang untuk biaya berobat. Usaha yang
dirintisnya pun harus berhenti total dan tidak sanggup untuk mencari modal
kembali. Pak Senadji masih bertahan meski harus berhutang kesana dan kemari
untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, bahkan ia terkadang harus meminta
bantuan saudaranya untuk membantu pinjaman modal untuk usahanya masih saja
tetap belum bisa berkembang.
LENYAP SENDI-SENDI
SOSIAL
Akibat perpindahan
paksa yang terjadi pada korban lumpur Lapindo, dampaknya mengakibatkan
hancurnya struktur organisasi sosial, ikatan antar pribadi dan sendi-sendi
sosial. Ikatan keluarga cenderung hancur, hubungan tolong-menolong yang
menopang keberlangsungan kehidupan di masing-masing Desa, paguyuban-paguyuban
lokal sukarela dan tatanan layanan mandiri masyarakat tercerai berai
kemana-mana. Hak-hak sosial korban lumpur Lapindo tidak bisa dibangun kembali
dengan mudah di tempat barunya. Butuh waktu yang lama untuk bisa beradaptasi di
tempat barunya tersebut.
- PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN HILANG TANPA BISA KEMBALI
Pondok Pesantren
yang didirikan oleh Almaghfurlah Drs. KH. Anas Al-Ayyubi Abil Hasan
Asy-Syadzily (AHAS) yang berdiri tahun 1996 berikut madrasah yang berinduk padanya, yakni Madrasah
Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan nama yang sama yang pernah berdiri megah di Desa Jatirejo. Bangunan sederhana terdiri dari tiga lokal, dengan luas masing-masing
berukuran 4 x 6 meter, digunakan sebagai tempat tidur para santri, kelas
mengaji kitab dan ruangan kelas MTs dan MA, segudang prestasi juga diukir oleh para santri sampai ke tingkat Nasional, terbukti
setidaknya dari banyaknya piala penghargaan yang pernah diterima. Masyarakat
Jatirejo merasa senang karena dapat memanfaatkan pesantren ini sebagai tempat
pengajian diskusi, dan bahkan menjadikannya sebagai pusat informasi soal agama Islam.
Tepatnya tanggal
16 Agustus 2006, tanggul yang ada di sisi utara-timur Desa Jatirejo jebol.
Lumpur panas mengalir deras. Tanggul yang dibuat untuk menyelamatkan Desa
Jatirejo dari lumpur panas itu pun tidak lagi bisa dibenahi. Akhirnya gedung
sekolah dan isinya tidak terselamatkan, kegiatan
belajar-mengajar sekolah MTs dan MA AHAS harus menumpang di Yayasan Nurul Huda
yang terletak di Desa Kedungboto, Porong. Banyak santri pondok dan murid madrasah tidak datang. Siswa-siswi yang dulu
berasal dari satu desa, Desa telah terpencar mengikuti orangtua mereka yang
mengontrak rumah di berbagai kawasan di Sidoarjo, bahkan di luar kabupaten. Ini
tidak hanya mempengaruhi jumlah murid, tapi juga semangat murid untuk belajar.
Masalan lain muncul, bahwa jam pelajaran terbatas sebab ruang kelas digunakan
secara bergantian. MTs dan MA AHAS masuk siang, setelah pagi digunakan sekolah
SMP dan SMA milik Yayasan Nurul Huda. Sedangkan sore hari, ruang kelas
digunakan pihak Pesantren Nurul Huda untuk mengaji kitab kuning dan pelajaran diniyyah.
Akhirnya jam pelajaran AHAS hanya tiga setengah jam. Pak Thoyib memulai
kegiatan AHAS pada pukul 12.30, dan harus segera mengakhiri pada jam 16.00. Ini
membuat Pak Thoyib kalang kabut. (Novik)
PEMERINTAH DAN LAPINDO TUTUP MATA
MI Ma’arif
bertahan satu tahun di Posko Gus Dur itu. Sebab, saat itu Pasar Baru Porong
harus dikosongkan per 15 Mei 2009. Madrasah terpaksa pindah, dan kini ke sebuah
ruko di Perumahan Sentra, Porong. Di ruko ini, Sita mengikuti pelajaran dengan
keterbatasan ruang dan meja belajar. Antar satu ruang kelas dan ruang kelas
lainnya hanya dibatasi papan triplek. Dan hal ini berlanjut sampai hari ini.
Wakil Kepala Sekolah Wahid Hasim menuturkan, Sekolahan ini hanya memakai bangku
kecil tanpa kursi. Total siswa kami sekarang hanya tinggal 38 siswa. Dan kelas
2, tempat Sita belajar, hanya ada 4 siswa.
Dengan hanya lesehan, ke 38 murid terlihat tak patah arang mengikuti
pelajaran. Ruko dua lantai ini disulap menjadi ruang kelas darurat. Dalam ruko
dua lantai ini, terdapat 5 kelas, dari kelas 1 hingga kelas 5, plus 2 kelas
lagi untuk taman kanak-kanak (TK). Tapi rasa khawatir tetap tak bisa
ditutup-tutupi. Banyak wali murid mengeluh atas kondisi sekolah yang serba
darurat itu. Meraka berharap ada
kejelasan tentang nasib sekolahan ini. Jika dibiarkan terlalu lama, saya
khawatir akan berakibat buruk pada prestasi anak-anak, teriak Samanhudin, salah seorang wali murid.
Ruko tempat
belajar ini tidaklah dimiliki secara permanen oleh Yayasan. Tempat tersebut dipinjami oleh Saiful Ilah sampai 2010.
Dan setelah itu, nasib sekolahan ini tidak jelas. Pemerintah maupun Lapindo
seolah tutup mata, tak peduli dengan nasib gedung-gedung pendidikan yang tenggelam lumpur Lapindo. Nasib sekolah
negeri masih lumayan, ada sikap Pemerintah, meski bukan kebijakan pemulihan.
Sekolah-sekolah dasar negeri yang tenggelam oleh lumpur tidak dibangun kembali,
tapi dilebur. Misalnya, SDN Kedungbendo dilebur dengan SDN Ketapang. SMPN 2
Porong merupakan satu-satunya gedung sekolah yang dibangun kembali oleh
Pemerintah. Lokasi baru terletak di Desa Lajuk, Kecamatan Porong.
Adapun
sekolah-sekolah swasta tetap dibiarkan tanpa kejelasan. Sebenarnya,
Pemerintah dan Lapindo harus memperhatikan pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Termasuk sekolahan ini, apakah mau dibuatkan gedung
sendiri atau mau dilebur ke sekolah lain, murid-murid, guru-guru dan pihak Yayasan, semua memiliki harapan yang sama. selalu
mengharapkan mempunyai gedung sendiri. Di mana pun tempatnya, pemilik yayasan sudah terlihat pasrah dengan kondisi
sekolah semacam ini. (Novik)
DAFTAR SEKOLAH
YANG TERDAMPAK LUMPUR LAPINDO
Tingkat
|
Kec. Porong
|
Kec. Tanggulangin
|
Kec. Jabon
|
TK/RA
|
TK
DW Pers Renokenongo
TK DW Pers Jatirejo TK DW Siring RA Muslimat Miftahul Ulum Jatirejo RA Muslimat Khalid bin Walid Renokenongo |
RA
Muslimat Nurul Islam Tanggulangin
|
TK
DW Pers Besuki Jabon
TK DW Pers Pejarakan Jabon TK Darul Ulum Besuki Jabon |
SD/MI
|
SDN
Jatirejo 1 Porong
SDN Jatirejo 2 Porong SDN Renokenongo 1 Porong SDN Renokenongo 2 Porong SDN Siring 1 Porong SDN Siring 2 Porong MI Ma’arif Jatirejo Porong MI Khalid bin Walid Renokenongo |
MI
Nurul Islam Tanggulangin
SDN Kedungbendo 2 Tanggulangin SDN Kedungbendo 3 Tanggulangin SDN Kedungbendo 1 Tanggulangin |
SDN
Pejarakan Jabon
SDN Besuki Jabon MI Darul Ulum Besuki Jabon |
SMP/MTs
|
MTs
Khalid bin Walid Renokenongo
MTs Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo SMP Negeri 2 Porong SMP PGRI 2 Porong |
MTs
Jawahirul Ulum Besuki
|
|
SMA/SMK/
MA |
MA
Khalid bin Walid Renokenongo
MA Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo |
MA
Jawahirul Ulum Besuki
SMK Jawahirul Ulum Besuki |
- KESEHATAN
KANKER GANAS
Amanah (52 tahun)
korban lumpur Lapindo asal Desa Renokenongo, belum menikmati uang ganti-rugi
dari Lapindo sudah terbur meninggal dunia akibat sakit kanker yang mengerogoti
tubuhnya, pihak rumah sakit umum Sidoarjo menyarakan untuk segera di operasi,
akibat tidak memiliki biaya untuk berobat pihak keluarga harus rela membawanya
pulang karena keterbatasan biaya rumah sakit yang semakin hari semakin tambah
besar, berhentinya 6 bulan lebih uang cicilan pembayaran ganti rugi dari
Lapindo.
Setelah menerima uang
ganti rugi 20% persen dari lapindo, keluarganya mengontrak rumah di wilayah
Candi Sidoarjo, harapan besara itupun muncul untuk segera membeli rumah baru,
dengan pembayaran 80% persen yang akan diterimanya. Setelah beberapa tahun
tinggal di rumah kontrakannya Amanah merasakan sakit pada tubuhnya dan akhirnya
terpaksa dibawa ke rumah sakit, pihak Lapindo pun disurati oleh keluarga Amanah
untuk segera memberikan pembayaran cicilan 80% persen ganti ruginya, tapi tidak
mendapatkan respon yang jelas.
Harapan keluarga
Amanah semakin jauh dan sirna, karena sisa pembayaran ganti rugi 80% persen
tidak segera terbayar dan malah berhenti selama lebih dari 6 bulan, keadaan ini
membuat keluarganya semakin sulit dan memprihatinkan, untuk makan saja sudah
sulit apalagi harus membeli rumah baru. Keadaan inilah yang membuat Amanah
tidak bergerak dan rela pulang kerumah dalam kondisi kesehatannya belum sembuh
karena tidak ada biaya untuk operasi penyakit yang dideritanya, dan akhirnya
Amanah menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kontrakan yang tidak jauh dari
Pusat semburan lumpur Lapindo.
BAYI MENINGGAL AKIBAT SESAK NAFAS
Putri pasangan
Khoirul dan Rida korban lumpur Lapindo asal Desa Gempolsari, Aulia Nadira Putri
bayi berusia 3.5 setengah tahun meninggal dunia. Aulia meninggal setelah 4 hari
dirawat di Rumah Sakit Siti Hajar Sidoarjo. Hasil diagnosa rumah sakit, Aulia
menderita sesak nafas akibat menghirup gas metan yang keluar dari semburan
lumpur Lapindo.
Wilayah Desa
Gempolsari yang hanya berjarak 500 meter dari pusat semburan tersebut, Khoirul
selama ini belum menerima ganti rugi dari Lapindo, bapak satu yang dulu menjadi
buruh di salah satu pabrik yang juga tenggelam oleh lumpur Lapindo tidak kuasa
menahan sedih dan akhirnya tak sadarkan diri hingga sempat lupa ingatan,
keluarganya sengaja tidak memberitaukan kondisi Aulia kepada Khoirul karena
takut menambah beban pada Khoirul yang hanya kerja serabutan. Karena kondisi
Khoirul dan Rida cukup memprihatikan dan tidak memiliki biaya untuk berobat,
keluarga sepakat untuk membawa pulang Aulia kerumah yang kosong tanpa
perabotan.
Khorul berharap
kepada Lapindo agar segera memberikan pembayaran ganti rugi sebesar 20% persen,
tapi juga tidak pernah mendapatkan jawaban yang jelas dan tanpa kepastian. Khoirul
pun pasrah dengan keadaannya tanpa memiliki biaya berobat untuk putrinya
kesayangan dan Aulia meninggal dunia dihadapannya.
1 komentar:
banyak sekali daftar sekolah yang terkena dampak lumpur lapindo.bagaimana nasib para guru dan murid2.
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.