Pembayaran Pelunasan Korban Lumpur Lapindo Masih Mendapatkan Janji Dari Minarak Lapindo Jaya Sekitar 250 Warga Korban Lumpur Lapindo Yang Tinggal Di Kahuripan Nirwan Terima Sertifikat Rumahnya Korban Leasing Sulit Mendapatkan Keadilan dari Kepolisian Polres Sidaorjo Tidak Menanggapai Laporan Korban Leasing Korban Leasing Takut Untuk Membuat Laporan Kepada Kepolisan Program Anak Asuh JAS MERAH untuk Anak-Anak Kurang Beruntung Isu Kudeta Tidak Terbukti, Lapas Di Jogja di Kudeta Pasukan Tidak Dikenal PT. MINARAK LAPINDO JAYA YANG BERJANJI MENYELESAIKAN SERTIFIKAT WARGA KAHURIPAN PADA BULAN OKTOBER, TIDAK TERBUKTI

Jumat, 19 Agustus 2011

5 Tahun Derita Korban Lapindo


"5 Tahun Semburan lumpur Lapindo berlalu, begitu dasyat dampaknya semburan panas yang keluar di areal sumur Banjarpanji 1 milik PT Lapindo Brantas Inc. Tidak kujung ada kepastian dan kejelasan proses pembayaran ganti rugi tersebut, justru meninggalkan segudang persoalan Inmaterial bagi korban lumpur Lapindo"

Tragedi kemanusian semburan lumpur panas Lapindo yang terjadi di porong 5 tahun yang lalu, di areal pengeboran sumur Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc. Hal tersebut membuktikan kurang seriusnya PT. Lapindo Brantas Inc, dalam melakukan upaya untuk menutup semburan lumpur panas Lapindo dan serta memberikan ganti rugi kepada korban lumpur Lapindo. Tidak hanya itu, sejak lumpur panas Lapindo menyembur dari sumur eksplorasi Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc, tanggal 29 Mei 2006 lalu, kini sudah menenggelamkan lebih 9 desa, kurang lebih 90.000 ribu jiwa terpaksa harus meninggalkan rumahnya.

PT. Lapindo Brantas Inc, sampai sekarang masih beranggapan tidak bersalah atas kejadian tragedi semburan lumpur panas yang ditimbulkan dari sumur eksplorasi Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc, warga terus melakukan aksi turun jalan dan melakukan pemblokiran jalan raya porong dan rel kereta api, tekanan juga di lakukan oleh seluruh media nasional dan internasional, akhirnya pemerintah membentuk tim  untuk menangi dampak tersebut, melalui Keppres 13 tahun 2006 Timnas lumpur Sidoarjo segera melakukan pemetaan area pad wilayah terdampak, dan terbitlah peta tersebut pada 4 Desember 2006 dan 22 maret tahun 2007, dan melakukan berbagai upaya untuk menutup semburan lumpur Lapindo, karena tidak mendapatkan kejelasan tentang ganti rugi asetnya, warga semakin gencar melakukan aksi unjuk rasa, akibat desakan tersebut pemerintah menerbitkan Perpres 14 tahun 2007 sebagai upaya penanganan dan memberikan ganti rugi aset warga di wilayah peta terdampak, dengan sistem pembayaran skema jual-beli yang dilakukan secara bertahap dengan 20% persen dibayarkan dimuka, dan sisanya (80% persen tidak disebutkan) akan dibayarkan paling lambat 1 bulan sebelum masa kontrak yang di berikan PT. Lapindo Brantas Inc selesai. (uang kontrak yang diberikan Lapindo kepada warga adalah 2 tahun, sejak 2006 dan berakhir masa kontrak pada tahun 2008).

Sampai saat ini masih banyak korban lumpur Lapindo yang belum menerima pembayaran 20% persen dan 80% persen dari Lapindo, serta macetnya cicilan 15 juta perbulan pembayaran 80% persen lebih dari 9 bulan dari PT. Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar PT. Lapindo Brantas Inc. Membuat penderitaan korban lumpur Lapindo semakin panjang dan terjerumus kedalam kehidupan yang tidak menentu, hutang pada rentenir semakin bertambah besar, tidak dapat memberikan nafkah kepada keluarga, tidak dapat membiaya anaknya sekolah, berhentinya usaha, kehilangan lahan pertanian, berhentinya sektor usaha-usaha kecil, pracangan, bengkel, dan tidak bisa mengembangkan kembali usaha-usaha mereka, tidak dapat membayar cicilan kendaraan bermotor, banyakanya pengangguran. Kondisi ini membuat warga tertekan dan banyak warga yang mengalami stres akibat dan meninggal dunia akibat keterbatasan ekonomi.

Dunia pendidikan di porong hancur akibat dampak semburan lumpur Lapindo, tidak adanya perhatian atau pemulihan dari pemerintah daerah maupun dari pemerintah pusat melalui Badan Penangulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) dan Lapindo juga tidak memberikan kompensasi maupun ganti rugi terhadap aset 33 sekolah yang sudah ditenggelamkan oleh semburan lumpur panas yang keluar dari areal pengeboran sumur Banjarpanji 1 milik PT. Lapindo Brantas Inc.

DAMPAK INMATERIAL YANG DI ALAMI KORBAN LUMPUR LAPINDO

  • EKONOMI
BAKSO PAK KUMIS
Pak Agus Suprianto alias Kumis (45 tahun) korban lumpu Lapindo asal Desa Jatirejo, memiliki usaha yang sudah dirintis sejak tahun 1980, pedagang bakso asli Solo yang mangkal di depan ‘pabrik jam Marsinah’, merasakan betul dampak dari semburan lumpur Lapindo. Setelah 26 tahun, lumpur Lapindo membuat usaha itu tenggelam begitu saja bersama kenangan kejayaan yang pernah ia rasakan.

Pada awal tahun 2000, Pak Kumis memiliki 7 warung bakso, 2 warung bakso di Desa Mindi dan Desa Siring, Kecamatan Porong, dan 5 gerobak bakso yang didorong keliling di desa-desa yang kini telah terendam lumpur Lapindo (Jatirejo, Siring, Renokenongo dan Kedungbendo). Untuk bahan bakunya pembuatan bakso setiap hari Pak Kumis menghabiskan 60 kilogram daging sapi segar untuk seluruh warungnya. Bahkan bisa mencapai 100 kilogram pada saat lebaran. Pendapatan yang diperolehnya Rp 2-3 juta per hari. Pak Kumis juga bisa mempekerjakan 9 orang karyawan yang ia datangkan dari Solo.

Dengan pendapatan yang begitu besar, pak Kumis bisa membeli tanah dan membangun rumah di Desa Jatirejo RT12 RW 03. Dan sudah tidak mengontrak rumah lagi, tapi sudah membangun rumah sendiri di Desa Jatirejo. Namun semua impian hancur begitu saja, ketika sumur gas Banjarpanji 1 mengalami kebocoran. Pembayaran sebesar 20% persen dari jual-beli aset yang dimiliki. Karena jelas tak akan cukup, pak Kumis tidak bisa membeli rumah lagi. Ia menggunakannya untuk membayar hutangnya selama di pengungsian, pak Kumis banyak berhutang ke saudaranya yang di Solo, baik untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari maupun untuk modal membangun usaha kembali-yang akhirnya juga dihajar lumpur itu.

Pak Kumis memilih untuk menggadaikan sertifikat rumah keluarganya yang di Solo untuk menambah modal guna merintis kembali usaha yang telah terendam lumpur panas Lapindo. Dengan uang hasil menggadaikan sertifikat itu, pak Kumis langsung membuat 3 warung bakso yang masing-masing terletak di Desa Lajuk, Desa Mindi dan Desa Glagaharum, Kecamatan Porong.

Pek Kumis merasa, perjuangannya untuk kembali ke kehidupan semula sungguh sulit diwujudkan. Apalagi, Lapindo dan Pemerintah tak menepati janji untuk melunasi sisa pembayaran 80% persen atas tanah dan bangunan warga. Pak Kumis mengikuti kemauan Lapindo, yang memaksakan skema pembayaran 80% persen dengan cicilan 15 juta rupiah per bulan.  Pak Kumis harus membagi uang cicilan tersebut untuk tiga keluarga yang lain. Sebab surat rumahnya di Desa Jatirejo masih menjadi satu dengan surat pemilik tanah sebelumnya. Ada empat rumah, tapi berada dalam satu berkas surat. Bayangkan berapa rupiah yang saya terima setiap bulan, Pak Kumis tidak bisa menikmati uang itu apalagi untuk mengembangkan usaha.

Pak Kumis masih terpuruk, meski Lapindo sudah berkoar-koar kalau korban lumpur telah kaya raya. Dan pak Kumis tidak sendiri. Ia hanya salah satu dari ribuan masalah yang timbul di Porong dan sekitarnya akibat lumpur laknat Lapindo. (Miftakhul Fahmi)

GULUNG TIKAR
Mutomaroh (30 tahun) ibu dua putra, korban lumpur Lapindo asal Desa Kedungbendo dulunya mempunyai usaha kerajinan perhiasan emas, sebelum terjadi semburan lumpur Lapindo yang menengelamkan desanya, Mutomaroh  mampu hidup lebih dari cukup dan dapat memberikan tunjangan hari raya kepada 6 orang anak buahnya. Usaha yang digelutinya merupakan usaha turun temurun yang sudah lama dirintis keluarganya, sekarang usahanya gulang tikar dan langsung berhenti total akibat semburan lumpur Lapindo, semua peralatan tersebut kemudian dititipkan kepada temannya di pasuruan, dengan harapan bisa dipakai lagi untuk usaha jika sudah mendapatkan modal dari ganti rugi dari Lapindo.

Harapan tingal harapan, karena usahanya yang dulu digeluti sudah tidak mungkin dikerjakan lagi, Mbak Waroh dan suaminya harus memutar otak untuk bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari, namun, segala kesulitan akan bertambah panjang dan semakin lama lagi, setelah 5 tahun Lapindo masih jauh dari komitmen untuk membayar ganti rugi. Menurut mbak Waroh dia mengingkan ganti rugi yang adil “ seharusnya pendapatan yang hilang akibat tidak bisa bekerja selama ini, harus di hitung.” Kerugian inmaterial membuat kesulitan dan tidak nyaman denagn hidup terpaksa mereka menjalaninya.

Karena itu, dia meminta kepada pemerintah untuk segera mendesak PT. Minarak lapindo Jaya segera menyelesaikan pembayaran sisa 80 persesnnya secara tunai. “Uang itu nantinya akan di gunakan untuk membeli rumah dan memulai lagi usaha kami yang dulu.“ dan segera bisa menikmati kebahagian dan berbagi senyum di hari raya seperti sebulum terjadi semburan lumpur Lapindo.

HABISLAH PENDAPATANKU
Masyarakat Sidoarjo hidup dengan penghasilan yang terus berkembang dari sektor tambak itu setidaknya sebelum lumpur panas menyembur pada 29 Mei 2006 akibat kesalahan pengeboran PT. Lapindo Brantas. Perlahan tapi pasti lumpur panas Lapindo bergerak perlahan menenggelamkan dan menghancurkan segala apa yang menghalangi lajunya: rumah, sawah, pekarangan, tambak. Tanggul penahan lumpur, yang dibangun berkali-kali, tak sanggup lagi menahan lumpur panas yang keluar dari pusat semburan hingga 100 ribu m3 perhari itu.

Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) memutuskan untuk mengalirkan lumpur ke Sungai Porong pada akhir tahun 2006 tanpa berfikir dampak yang akan ditimbulkan. Kebijakan BPLS membuang lumpur ke Sungai Porong akan membuat warga di sepanjang aliran sungai meradang. Mayoritas warga Jabon yang tinggal di sepanjang aliran sungai Porong hidup dari membudidayakan berbagai jenis ikan air asin di tambak mereka. Selain juga sawah dan tambang pasir tradisional di Desa Permisan, Kecamatan Jabon yang memanfaatkan aliran Sungai Porong yang juga merugi karena di dasar Sungai Porong kini terdapat lumpur.

Tambak mengalami kerusakan parah. Bahkan di tempat yang jauh dari pusat semburan. Desa Tegalsari, Jabon. Desa ini berada tepat di ujung Sungai Porong. Seluruh warganya hidup dari hasil tambak. Kerusakan tambak di Desa Tegalsari terjadi tepat pasca BPLS mengalirkan lumpur panas ke Sungai Porong. Pendapatan masyarakat menurun menyusul hasil panen ikan yang tak sesuai harapan. Samijan (41 tahun) adalah salah satu dari warga Tegalsari yang membudidayakan ikan di tambaknya. Di desa yang belum dialiri listrik itu, Samijan mengahabiskan hari-harinya merawat tiga buah tambak yang luas total mencapai 29 hektar yang disewanya sebesar 10 juta selama enam tahun bersama istri dan ketiga anaknya. Ia juga membudidayakan kepiting dan rumput laut di samping udang dan bandeng sebagai komoditi utama.

Lumpur panas Lapindo datang dan dialirkan ke Sungai Porong, mengaliri dan mencemari ribuan hektar tambak di Kecamatan Jabon. Desa dan tambak yang terletak 20 kilometer dari pusat semburan itu menerima dampak dari lumpur Lapindo termasuk 29 hektar tambak yang disewa Samijan. Secara perlahan Lumpur masuk ke tambak-tambak milik Samijan. Banyak ikan yang mati sebelum panen. Ukuran ikan setiap kali panen mengalami penurunan, sehingga pendapatan per panen menurun seiring harganya turun di pasaran. Tidak ingin merugi, Samijan dan warga lainnya melakukan berbagai macam cara. Ikan tetap saja mati.

Lambat laun, lumpur Lapindo yang mengendap di tambak-tambak mulai tebal dan membuat rumput laut yang dibudidayakan mati. Sekarang Samijan tak lagi menanam rumput laut karena air sudah sudah tercemar oleh lumpu Lapindo. Selain rumput laut yang mati, kepiting, udang dan bandeng tidak bisa tumbuh ke ukuran normal. Kerugian ratusan juta pun tak bisa dihindari. Seluruh warga Tegalsari tak pernah menyangka tambak yang berada 20 km dari pusat semburan itu juga menerima dampak dari semburan lumpur panas Lapindo. Samijan menuturkan kalau saat-saat itu adalah masa sulit yang pernah ia alami selama ia menjadi petambak sejak awal tahun 80-an.

Tidak hanya pendapatan Samijan dan warga Tegalsari lain yang menurun karena tambak mereka telah tercemar lumpur Lapindo, mereka juga harus mengeluarkan biaya tambahan untuk tetap menjaga keberlangsungan mata pencaharian utama itu. Warga Tegalsari yakin, matinya ikan-ikan mereka itu disebabkan oleh semakin tebalnya lumpur yang mengendap di dasar tambak di Desa Tegalsari. Pernah satu kali tambak di Desa Tegalsari didatangi oleh pihak Dinas Kelautan dan Perikanan setempat pada tahun 2007.

Kedatangan dinas terkait ke Tegalsari bermaksud untuk memberi solusi dan menjanjikan bantuan ke warga untuk mengangkat lumpur yang mengendap di tambak-tambak warga Tegalsari, tapi sampai sekarang apa yang pernah dijanjikan tak pernah terjadi. (Miftakhul Fahmi)

PENGANGGURAN JADI MOMOK
Arya (39 tahun) korban lumpur Lapindo asal Perum Tangulangin Anggun Sejahtera (TAS) 1 Desa Kedungbendo, pak Arya bekerja pada salah satu perusahaan jamu ternama di Surabaya. Memiliki jabatan dan penghasilan yang besar ia juga memiliki usaha agen sembako di areal Perumahan yang terkenal perumahan paling besar di seluruh Jawa Timur, tahun 2003 ia mulai menempati rumah yang dibelinya dari keringatnya bekerja selama 19 tahun di perusahaan tersebut.

Tidak disangka setelah 10 tahun menikmati kesuksesan yang diraih pak Arya selama 19 tahun ia bekerja, hancur begitu saja di terjang Semburan lumpur Lapindo yang menenggelamkan rumah dan usahanya yang di rintis selama 3 tahun lalu. Tragedi lumpur Lapindo membuat sifat temperamennya semakin naik dan gampang mengumbar emosi dan marah, ia semakin geram saat Lapindo menolak memberikan ganti rugi aset milik warga perum TAS 1 dan ia bergabung dengan warga yang lain untuk berjuang menuntut kejelasan dan kepastian tentang ganti rugi aset-asetnya, dan ia pun harus mengungsi ke pasar baru porong bersama warga perum TAS yang lainnya.

Setiap hari bersama warga melakukan unjuk rasa dan pak Arya pun jarang masuk bekerja, bahkan terguran serta surat peringatan dari perusahaanya diacuhkan. 1 tahun ia lewati dengan berjuang untuk menuntut keadilan dari Lapindo agar segera memberikan ganti rugi, sampai ia harus rela kehilangan pekerjaan dari perusahaan. Pak Arya mendapatkan kompensasi yang tidak begitu besar dari perusahaannya dan hanya cukup untuk biaya hidup dengan istri dan 3 anaknya selama di pengusian. Meskipun pada akhirnya Lapindo memberikan ganti rugi atas tanah dan bangunan, itupun membutuhkan waktu 1 tahun setengah untuk bisa diterimanya ganti rugi sebesar 20% persen, ia lantas mengontrak rumah di sudut barat Sidoarjo dan membayar hutang-hutang selama ia hidup dipengusian.

Dengan sisa-sisa uang dari Lapindo ia mencoba merintis kembali usaha dengan membuat toko di rumah yang ia sewa selama 2 tahun itu, dan sisanya ganti rugi 80% persen ia bersama warga lain sepakat dengan skema yang di tawarkan Lapindo dengan jual-beli 80% persen  yang ia miliki untuk dibelikan rumah yang di bangun oleh Lapindo di Kahuripan Nirwana Village di tengah kota Sidoarjo. Dengan harapan yang begitu besar setelah memiliki rumah kembali, pak Arya mencoba bangun usahanya lagi di perumahan Kahuripan Nirwana rumah yang baru 2 tahun ia tempati ternyata tidak semudah itu langsung bangkit dari merasakan kemakmuran hidupnya justru malah membuat pak Arya tambah frustasi. Pak arya pun berharap segera menerima sertifikatnya dengan harapan dapat ia gunakan sebagai jaminan pinjaman modal ke salah satu Bank yang ada di Sidoarjo.

3 tahun menanti sertifikat rumahnya yang ia beli dengan tunai tak kunjang ada kejelasan dari Lapindo, sedangkan usahanya yang pak Arya bangun di rumahnya tersebut tidak dapat berkemabang karena mayoritas warga yang ada di areal wilayah rumahnya pun memiliki usaha yang sama, semakin lama usahanya pun harus ia relakan untuk tutup dan tidak di lanjutkan kembali dan beralih profesi untuk bisa menutupi biaya kehidupan yang sangat tinggi. Ia pun bersama warga yang lainnya untuk ikut menjadi tukang ojek di perumahan tersebut, penghasilan yang didapat pak Arya jauh dari harapan karena hanya cukup untuk makan saja, pak Arya sedih jika melihat anaknya tidak dapat bersekolah lagi. Ia sangat geram dengan Lapindo, bersama warga Kahuripan Nirwana turun ke jalan lagi untuk meminta kepastian sertifikat rumahnya. Dengan harapan sertifikat rumah itu dapat ia gunakan untuk modal usaha.
  • SOSIAL
HILANGNYA HARMONISASI
Suasana harmonis hilang setelah lumpur Lapindo datang, warga desa yang semula rukun kemudian saling bermusuhan dan terjadi bentrok antar desa, semisal warga Desa Besuki bentrok dengan warga Desa Renokenongo, bentrokan terjadi akibat dipicu oleh penolakan warga masing-masing Desa terhadap pembuangan lumpur, kedua belah pihak melakukan aski saling lempar batu dan sabetan senjata tajam pun terjadi, banyak korban luka-luka dalam bentrokan tersebut, diantaranya  Faisol (26 tahun) dari Desa Besuki, kepalanya bocor akibat lemparan batu.

Irsyad (43 tahun), warga Desa Besuki Timur Tol membuat spanduk mengatakan jika warga ingin keadilan maka warga harus bersatu. Mungkin dengan cara ini warga bisa bersatu. Tanpa disangka Kepala Desa Keboguyang, Kecamatan Jabon, membuat keributan dengan cara menyingkirkan sirtu yang menghalangi jalan. Warga Desa Besuki marah. Irsyad menemui kepala desa dan tanpa disangka kepala desa mendaratkan pukulannya ke kepala Irsyad. Sontak warga Besuki berteriak, tak ada yang berusaha menghentikan kejadian tersebut. Terlihat warga Besuki Barat Tol tertawa melihat semua itu. Kepolisian Jabon dan para TNI turun tangan untuk mendamaikan. Kepala Desa Keboguyang yang mewakili desanya berkata kalau desanya akan tenggelam jika aksi blokir jalan ini terus berlangsung. Alasan yang kurang logis. Jika memang desanya tenggelam pasti akan menenggelamkan Desa Besuki terlebih dahulu yang jaraknya memang dekat dengan tanggul.

Karena pihak kepolisian tidak sanggup membubarkan aksi warga, mereka menghasut warga di desa lain untuk membubarkan aksi yang telah berlangsung selama 1 bulan ini. Kepala Desa Keboguyang dicurigai warga bersekongkol dengan intel Polres untuk membubarkan aksi tersebut. pada saat seperti itu sangat terlihat sekali bahwa warga Barat Tol tidak mendukung aksi blokir jalan itu karena mereka menganggap Timur Tol bukan termasuk korban dan tidak berhak menuntut apa pun.

Indikasi kesengajaan baik dalam kasus bentrok antar desa dan pemukulan yang dilakukan Kepala Desa Keboguyang ini memang dirasakan oleh ayah beranak 3 ini. Peran pemerintah dalam menangani kasus terutama terhadap penanganan masalah lumpur Lapindo terlihat lamban. Bentrok yang terjadi antar warga desa tersebut merupakan rencana tersembunyi. Pemerintah dan Lapindo mempunyai provokasi yang sengaja diturunkan untuk menghasut warga terutama para korban lumpur Lapindo. Baik Pemerintah maupun Lapindo memang tidak menginginkan jika warga bersatu. Karena jika warga bersatu mereka takut warga akan membuat kekuatan yang lebih besar. Kekuatan yang melebihi kekuatan aparat-aparat mereka. Kekuatan yang akan menghancurkan mereka. (Daris Ilma)

HANCURNYA KERUKUNAN AKIBAT DUA PULUH PERSEN 20%
Berselisih paham akibat menuntut pembagian hasil 20% ganti rugi yang di terima orang tuannya, seperti terjadi keluarga Senadji (53 tahun) warga siring, kedua anaknya harus berselisih paham dan bahkan saling adu pukul, Senadji mengalami stres berat dan akhiranya sakit hingga sekarang, dampak akibat melihat kondisi kerukanan dalam keluarganya sudah mulai hilang dan menjalar sampai kepada istrinya yang meminta cerai kepada sang suami.

Banyaknya tuntutan anaknya dan keluarganya pak Senadji berusaha sabar dan mencoba tenang, tanpa sepengetahuan keluarganya pak Sendaji membangun usahanya dari hasil menerima 20% persen dari jual-beli asetnya, pak Senadji mengontrak rumah di perumhan pinggiran Sidoarjo dan membeli kendaraan bermotor dan digunakan modal untuk berkulakan minyak gas, sisanya diberikan semua kepada anak-anaknya dan istrinya. Sepertinya keluarganya juga masih belum berubah dan segera bangun dari kehancuran akibat lumpur Lapindo.

Hingga kini Pak Senadji harus berjuang sendirian untuk bisa bertahan hidup, meskipun dalam kondisi yang sudah tidak seperti sebelum adanya semburan lumpur Lapindo, rasa trauma dan stres selalu menghantui jika dia mengingat kembali apa yang terjadi dalam keluarganya, aset ganti rugi yang dia miliki tidak sedikit dan ia merelakan semuanya untuk di ambil oleh anak-anaknya dan istrinya.

Pak Senadji tidak mau terlarut dalam kesedihan, ia terus berusaha membangun usaha yang baru dirintisnya. Pedihnya perjalanan yang dia alaminya sedikit demi sedikit dapat terlupakan, karena sakit yang terus mengerogoti tubuhnya modal yang ia gunakan untuk membangun usahanya selalu berkurang untuk biaya berobat. Usaha yang dirintisnya pun harus berhenti total dan tidak sanggup untuk mencari modal kembali. Pak Senadji masih bertahan meski harus berhutang kesana dan kemari untuk bisa menutupi kebutuhan sehari-hari, bahkan ia terkadang harus meminta bantuan saudaranya untuk membantu pinjaman modal untuk usahanya masih saja tetap belum bisa berkembang.

LENYAP SENDI-SENDI SOSIAL
Akibat perpindahan paksa yang terjadi pada korban lumpur Lapindo, dampaknya mengakibatkan hancurnya struktur organisasi sosial, ikatan antar pribadi dan sendi-sendi sosial. Ikatan keluarga cenderung hancur, hubungan tolong-menolong yang menopang keberlangsungan kehidupan di masing-masing Desa, paguyuban-paguyuban lokal sukarela dan tatanan layanan mandiri masyarakat tercerai berai kemana-mana. Hak-hak sosial korban lumpur Lapindo tidak bisa dibangun kembali dengan mudah di tempat barunya. Butuh waktu yang lama untuk bisa beradaptasi di tempat barunya tersebut.
  • PENDIDIKAN
PONDOK PESANTREN HILANG TANPA BISA KEMBALI
Pondok Pesantren yang didirikan oleh Almaghfurlah Drs. KH. Anas Al-Ayyubi Abil Hasan Asy-Syadzily (AHAS) yang berdiri tahun 1996 berikut madrasah yang berinduk padanya, yakni Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) dengan nama yang sama yang pernah berdiri megah di Desa Jatirejo. Bangunan sederhana terdiri dari tiga lokal, dengan luas masing-masing berukuran 4 x 6 meter, digunakan sebagai tempat tidur para santri, kelas mengaji kitab dan ruangan kelas MTs dan MA, segudang prestasi juga diukir oleh para santri sampai ke tingkat Nasional, terbukti setidaknya dari banyaknya piala penghargaan yang pernah diterima. Masyarakat Jatirejo merasa senang karena dapat memanfaatkan pesantren ini sebagai tempat pengajian diskusi, dan bahkan menjadikannya sebagai pusat informasi soal agama Islam.

Tepatnya tanggal 16 Agustus 2006, tanggul yang ada di sisi utara-timur Desa Jatirejo jebol. Lumpur panas mengalir deras. Tanggul yang dibuat untuk menyelamatkan Desa Jatirejo dari lumpur panas itu pun tidak lagi bisa dibenahi. Akhirnya gedung sekolah dan isinya tidak terselamatkan, kegiatan belajar-mengajar sekolah MTs dan MA AHAS harus menumpang di Yayasan Nurul Huda yang terletak di Desa Kedungboto, Porong. Banyak santri pondok dan murid madrasah tidak datang. Siswa-siswi yang dulu berasal dari satu desa, Desa telah terpencar mengikuti orangtua mereka yang mengontrak rumah di berbagai kawasan di Sidoarjo, bahkan di luar kabupaten. Ini tidak hanya mempengaruhi jumlah murid, tapi juga semangat murid untuk belajar. Masalan lain muncul, bahwa jam pelajaran terbatas sebab ruang kelas digunakan secara bergantian. MTs dan MA AHAS masuk siang, setelah pagi digunakan sekolah SMP dan SMA milik Yayasan Nurul Huda. Sedangkan sore hari, ruang kelas digunakan pihak Pesantren Nurul Huda untuk mengaji kitab kuning dan pelajaran diniyyah. Akhirnya jam pelajaran AHAS hanya tiga setengah jam. Pak Thoyib memulai kegiatan AHAS pada pukul 12.30, dan harus segera mengakhiri pada jam 16.00. Ini membuat Pak Thoyib kalang kabut. (Novik)

PEMERINTAH DAN LAPINDO TUTUP MATA
MI Ma’arif bertahan satu tahun di Posko Gus Dur itu. Sebab, saat itu Pasar Baru Porong harus dikosongkan per 15 Mei 2009. Madrasah terpaksa pindah, dan kini ke sebuah ruko di Perumahan Sentra, Porong. Di ruko ini, Sita mengikuti pelajaran dengan keterbatasan ruang dan meja belajar. Antar satu ruang kelas dan ruang kelas lainnya hanya dibatasi papan triplek. Dan hal ini berlanjut sampai hari ini. Wakil Kepala Sekolah Wahid Hasim menuturkan, Sekolahan ini hanya memakai bangku kecil tanpa kursi. Total siswa kami sekarang hanya tinggal 38 siswa. Dan kelas 2, tempat Sita belajar, hanya ada 4 siswa.

Dengan hanya lesehan, ke 38 murid terlihat tak patah arang mengikuti pelajaran. Ruko dua lantai ini disulap menjadi ruang kelas darurat. Dalam ruko dua lantai ini, terdapat 5 kelas, dari kelas 1 hingga kelas 5, plus 2 kelas lagi untuk taman kanak-kanak (TK). Tapi rasa khawatir tetap tak bisa ditutup-tutupi. Banyak wali murid mengeluh atas kondisi sekolah yang serba darurat itu. Meraka berharap ada kejelasan tentang nasib sekolahan ini. Jika dibiarkan terlalu lama, saya khawatir akan berakibat buruk pada prestasi anak-anak, teriak Samanhudin, salah seorang wali murid.

Ruko tempat belajar ini tidaklah dimiliki secara permanen oleh Yayasan. Tempat tersebut dipinjami oleh Saiful Ilah sampai 2010. Dan setelah itu, nasib sekolahan ini tidak jelas. Pemerintah maupun Lapindo seolah tutup mata, tak peduli dengan nasib gedung-gedung pendidikan yang tenggelam lumpur Lapindo. Nasib sekolah negeri masih lumayan, ada sikap Pemerintah, meski bukan kebijakan pemulihan. Sekolah-sekolah dasar negeri yang tenggelam oleh lumpur tidak dibangun kembali, tapi dilebur. Misalnya, SDN Kedungbendo dilebur dengan SDN Ketapang. SMPN 2 Porong merupakan satu-satunya gedung sekolah yang dibangun kembali oleh Pemerintah. Lokasi baru terletak di Desa Lajuk, Kecamatan Porong.

Adapun sekolah-sekolah swasta tetap dibiarkan tanpa kejelasan.  Sebenarnya, Pemerintah dan Lapindo harus memperhatikan pendidikan anak-anak korban lumpur Lapindo. Termasuk sekolahan ini, apakah mau dibuatkan gedung sendiri atau mau dilebur ke sekolah lain, murid-murid, guru-guru dan pihak Yayasan, semua memiliki harapan yang sama. selalu mengharapkan mempunyai gedung sendiri. Di mana pun tempatnya, pemilik yayasan sudah terlihat pasrah dengan kondisi sekolah semacam ini. (Novik)

DAFTAR SEKOLAH YANG TERDAMPAK LUMPUR LAPINDO
Tingkat
Kec. Porong
Kec. Tanggulangin
Kec. Jabon
TK/RA
TK DW Pers Renokenongo
TK DW Pers Jatirejo
TK DW Siring
RA Muslimat Miftahul Ulum Jatirejo
RA Muslimat Khalid bin Walid Renokenongo
RA Muslimat Nurul Islam Tanggulangin
TK DW Pers Besuki Jabon
TK DW Pers Pejarakan Jabon
TK Darul Ulum Besuki Jabon
SD/MI
SDN Jatirejo 1 Porong
SDN Jatirejo 2 Porong
SDN Renokenongo 1 Porong
SDN Renokenongo 2 Porong
SDN Siring 1 Porong
SDN Siring 2 Porong
MI Ma’arif Jatirejo Porong
MI Khalid bin Walid Renokenongo
MI Nurul Islam Tanggulangin
SDN Kedungbendo 2
  Tanggulangin
SDN Kedungbendo 3 Tanggulangin
SDN Kedungbendo 1 Tanggulangin
SDN Pejarakan Jabon
SDN Besuki Jabon
MI Darul Ulum Besuki Jabon
SMP/MTs
MTs Khalid bin Walid Renokenongo
MTs Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo
SMP Negeri 2 Porong
SMP PGRI 2 Porong

MTs Jawahirul Ulum Besuki
SMA/SMK/
MA
MA Khalid bin Walid Renokenongo
MA Abil Hasan Asy Syadzily Jatirejo

MA Jawahirul Ulum Besuki
SMK Jawahirul Ulum Besuki
  • KESEHATAN
KANKER GANAS
Amanah (52 tahun) korban lumpur Lapindo asal Desa Renokenongo, belum menikmati uang ganti-rugi dari Lapindo sudah terbur meninggal dunia akibat sakit kanker yang mengerogoti tubuhnya, pihak rumah sakit umum Sidoarjo menyarakan untuk segera di operasi, akibat tidak memiliki biaya untuk berobat pihak keluarga harus rela membawanya pulang karena keterbatasan biaya rumah sakit yang semakin hari semakin tambah besar, berhentinya 6 bulan lebih uang cicilan pembayaran ganti rugi dari Lapindo.

Setelah menerima uang ganti rugi 20% persen dari lapindo, keluarganya mengontrak rumah di wilayah Candi Sidoarjo, harapan besara itupun muncul untuk segera membeli rumah baru, dengan pembayaran 80% persen yang akan diterimanya. Setelah beberapa tahun tinggal di rumah kontrakannya Amanah merasakan sakit pada tubuhnya dan akhirnya terpaksa dibawa ke rumah sakit, pihak Lapindo pun disurati oleh keluarga Amanah untuk segera memberikan pembayaran cicilan 80% persen ganti ruginya, tapi tidak mendapatkan respon yang jelas.

Harapan keluarga Amanah semakin jauh dan sirna, karena sisa pembayaran ganti rugi 80% persen tidak segera terbayar dan malah berhenti selama lebih dari 6 bulan, keadaan ini membuat keluarganya semakin sulit dan memprihatinkan, untuk makan saja sudah sulit apalagi harus membeli rumah baru. Keadaan inilah yang membuat Amanah tidak bergerak dan rela pulang kerumah dalam kondisi kesehatannya belum sembuh karena tidak ada biaya untuk operasi penyakit yang dideritanya, dan akhirnya Amanah menghembuskan nafas terakhirnya di rumah kontrakan yang tidak jauh dari Pusat semburan lumpur Lapindo.

BAYI MENINGGAL AKIBAT SESAK NAFAS
Putri pasangan Khoirul dan Rida korban lumpur Lapindo asal Desa Gempolsari, Aulia Nadira Putri bayi berusia 3.5 setengah tahun meninggal dunia. Aulia meninggal setelah 4 hari dirawat di Rumah Sakit Siti Hajar Sidoarjo. Hasil diagnosa rumah sakit, Aulia menderita sesak nafas akibat menghirup gas metan yang keluar dari semburan lumpur Lapindo.

Wilayah Desa Gempolsari yang hanya berjarak 500 meter dari pusat semburan tersebut, Khoirul selama ini belum menerima ganti rugi dari Lapindo, bapak satu yang dulu menjadi buruh di salah satu pabrik yang juga tenggelam oleh lumpur Lapindo tidak kuasa menahan sedih dan akhirnya tak sadarkan diri hingga sempat lupa ingatan, keluarganya sengaja tidak memberitaukan kondisi Aulia kepada Khoirul karena takut menambah beban pada Khoirul yang hanya kerja serabutan. Karena kondisi Khoirul dan Rida cukup memprihatikan dan tidak memiliki biaya untuk berobat, keluarga sepakat untuk membawa pulang Aulia kerumah yang kosong tanpa perabotan.

Khorul berharap kepada Lapindo agar segera memberikan pembayaran ganti rugi sebesar 20% persen, tapi juga tidak pernah mendapatkan jawaban yang jelas dan tanpa kepastian. Khoirul pun pasrah dengan keadaannya tanpa memiliki biaya berobat untuk putrinya kesayangan dan Aulia meninggal dunia dihadapannya.

1 komentar:

banyak sekali daftar sekolah yang terkena dampak lumpur lapindo.bagaimana nasib para guru dan murid2.

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.

KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN SUDI MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL YANG ADA PERJUANGAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI KAMI TERUS AKAN MELAWAN SAMAPAI KAPANPUN BANTUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT SANGAT KAMI BUTUHKAN, DERITA KAMI JANGAN DI BAWA KE RANAH POLITIK

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More