Pembayaran Pelunasan Korban Lumpur Lapindo Masih Mendapatkan Janji Dari Minarak Lapindo Jaya Sekitar 250 Warga Korban Lumpur Lapindo Yang Tinggal Di Kahuripan Nirwan Terima Sertifikat Rumahnya Korban Leasing Sulit Mendapatkan Keadilan dari Kepolisian Polres Sidaorjo Tidak Menanggapai Laporan Korban Leasing Korban Leasing Takut Untuk Membuat Laporan Kepada Kepolisan Program Anak Asuh JAS MERAH untuk Anak-Anak Kurang Beruntung Isu Kudeta Tidak Terbukti, Lapas Di Jogja di Kudeta Pasukan Tidak Dikenal PT. MINARAK LAPINDO JAYA YANG BERJANJI MENYELESAIKAN SERTIFIKAT WARGA KAHURIPAN PADA BULAN OKTOBER, TIDAK TERBUKTI

Sabtu, 04 September 2010

Empat Tahun Semburan Lumpur Lapindo, Masyarakat Korban Masih Menderita

Di bawah terik matahari, sekitar pukul 11.00 WIB, sekelompok massa mulai berjalan melewati jalan protokol Ibukota Jakarta dari Tugu Kujang menuju depan Istana Negara, Jakarta Pusat (19/5). Dengan perlahan namun pasti, sekitar 20 orang dengan aksi treatrikalnya terus berjalan sambil sesekali menunjukkan aksi jatuh bangun oleh kedua pelaku yang terikat tangannya dengan tali.

Dengan bertelanjang dada, dua orang pemuda berjalan dengan kedua tangannya terikat tali yang menguntai dengan potongan tongkat berukuran panjang sekitar 50 cm. Di sebelah kanan dan kiri keduanya juga berjalan dua orang pemuda berpakaian lengkap dengan menarik miniatur kapal terbuat dari gabus. Keempatnya berjalan dengan mata kosong menerawang ke depan. Sementara sekelompok orang lainnya mengiringi di belakang mereka dengan membentangkan spanduk yang bergambar rumah, tempat peribadatan dan bangunan lainnya terendam lumpur.

Para pewarta berita dari media massa baik cetak, audio maupun televise tidak mau ketinggalan mengabadikan aksi treatrikal ini. Dengan jepretan kamera, para wartawan ini terkadang menghentikan sesaat perjalanan aksi. Namun tidak mengganggu aksi, justru dengan aksinya secara tersendiri ini, para jurnalis ini dapat mendukung aksi yang bertujuan mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa penderitaan masyarakat korban lumpur Lapindo masih berlangsung dan belum tertangani menjelang empat tahun pada 29 Mei 2010 nanti.

Aksi treatrikal memperingati empat tahun bencana semburan lumpur Lapindo akibat pengeboran minyak bumi di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur pada 29 Mei 2006, menggambarkan bagaimana penderitaan korban hingga saat ini. Di depan Istana Negara, aksi dilanjutkan dengan pantomime yang mengisahkan anak yang mengalami kesulitan bersekolah. Dengan beban yang menderanya akibat fasilitas sekolah, lingkungan dan keluarga yang tertimpa musibah lumpur, anak ini tetap bersekolah mesti luapan lumpur terus mengganggunya.

Sementara para pemain aksi lainnya menggerakkan miniatur kapal di sekitarnya. Menurut Hendrik Siregar dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebagai salah satu organisasi masyarakat yang berperan dalam aksi ini, kapal-kapal miniatur ini menggambarkan bahwa masyarakat korban telah tenggelam dan harus hidup di atas lautan lumpur. Mereka membutuhkan kapal-kapal untuk bisa hidup.

Terkesan Pembiaran

Para pemain lainnya nampak menunjukkan sikap yang tidak peduli, bahkan cenderung meremehkan dengan ketawa dan menyibakkan air lumpur kepada pemain lainnya. Aksi ini juga menggambarkan bagaimana para stakeholder yang harus bertanggung jawab, baik pemerintah maupun perusahaan pengeboran terkait, tidak juga menunjukkan itikad menyelesaikan masalah ini dengan segera.

“Sebaliknya terkesan membiarkan dengan hanya berkutat pada peraturan-peraturan di atas kertas tanpa bukti nyata,” kata Abdul Halim, Koordinator Program Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Menurut Halim, seharusnya pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat menghentikan dan menutup semburan lumpur, tapi ternyata melalui Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), mereka hanya membuat tanggul yang seringkali jebol. Dengan peraturan-peraturan itu, seakan-akan pemerintah justru menguntungkan perusahaan pengebor. Salah satunya penggunaan anggaran APBN untuk menangani lumpur ini. Pada pasal 15A PP No. 48 Tahun 2008 tentang perubahan atas PP No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, menyebutkan bahwa “Biaya penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar Peta Area Terdampak tanggal 22 Maret 2007 dibebankan pada APBN.”

Menurut organisasi masyarakat sipil peserta aksi yang tergabung dalam Gerakan Menuntut Keadilan Korban Lapindo, penanganan ala kadarnya mengesankan luapan lumpur tak mungkin ditangani, jelas-jelas menguntungkan perusahaan pengebor. Sebaliknya kondisi pembiaran penanganan ini berpotensi meluaskan daya rusak luapan lumpur. Persoalan sosial kian meluas seiring dibuangnya Lumpur Lapindo ke Kali Porong menuju laut. “Anak-anak kesulitan bersekolah. Kesehatan dan kebutuhan hidup masyarakat juga tidak nyaman dan cenderung terancam,” tegas Halim.

Halim mengatakan bahwa Kali Porong merupakan sumber pengairan lebih dari 4000 hektar tambak di Kecamatan Jabon, Sidoarjo. Tak ayal, buangan lumpur ke Kali Porong akan masuk dan merusak tambak serta meracuni udang dan ikan di dalamnya. Meluasnya kerusakan ini menurut Halim, berisiko mengganggu sekitar 40 sampai 50 persen produksi perikanan laut Jawa Timur tidak bisa berjalan normal dan menurun drastis seperti yang disebutkan data Menteri Perikanan dan Kelautan (DKP) periode sebelumnya.

Padahal perikanan tambak merupakan unggulan Kabupaten Sidoarjo, kawasan dengan luasan tambak organik terbesar di Indonesia. Sekitar 30 persen ekspor udang Indonesia berasal dari tambak Sidoarjo dengan nilai produksi sekitar Rp 800 miliar per tahun. Dampak serupa juga akan dialami ribuan nelayan di pesisir Sidoarjo, Madura, Surabaya, Pasuruan, dan Probolinggo yang terancam kehilangan sumber penghidupan.

Menurut kajian Kiara, nelayan setempat akan mengalami penurunan jumlah seiring dengan penurunan kualitas sumber daya alam Kali Porong dan laut muaranya. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan menyebutkan bahwa jumlah nelayan Sidoarjo dan sekitarnya mencapai 3 juta pada 2003, namun menurun menjadi 2,2 juta pada 2008. Kiara memperkirakan ada 116 nelayan per hari beralih profesi lainnya (seperti tukang ojek dan lainnya). Kiara menengarai ini akibat pembuangan lumpur Lapindo ke Kali Porong yang mencemari ekosistem kali ataupun laut setempat dan menurunkan jumlah ikan.

Untuk menghentikan dampak pada korban dan sumber daya alam setempat, menurut gerakan ini, pemerintah seharusnya menekan perusahaan pengeboran yang bertanggung jawab (Minarak Lapindo Jaya) untuk menyelesaikan ganti rugi pada masyarakat korban, bukan dari dana APBN, melainkan dari perusahaan itu sendiri. Sisa-sisa pembayaran ganti rugi yang masih terkatung-katung harus segera di selesaikan. Pemerintah juga harus melakukan kajian lebih mendalam tentang lumpur dan dampaknya pada masyarakat dan lingkungan hidup.

Ani Purwati - 19 May 2010
Berita Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.

KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN SUDI MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL YANG ADA PERJUANGAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI KAMI TERUS AKAN MELAWAN SAMAPAI KAPANPUN BANTUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT SANGAT KAMI BUTUHKAN, DERITA KAMI JANGAN DI BAWA KE RANAH POLITIK

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More