Bencana Lumpur Panas Lapindo yang terjadi sejak tanggal 29 Mei 2006 di Porong Sidoarjo, semburan yang dimuntahkan dari dalam perut bumi ini rata-rata sekitar 100.000 meter kubik per hari, material lumpur panas tersebut ditampung di dalam tanggul dengan luasan sekitar 800 hektar dan secara perlahan disalurkan ke sungai Porong
Hingga saat ini beberapa kalangan dan para ahli dari berbagai negara meyakini semburan lumpur panas yang terjadi itu karena adanya underground blowout pada sumur eksplorasi gas Banjar Panji-1 (BJP-1) milik perusahaan minyak dan gas PT Lapindo Brantas Inc. (PT LBI).
Bencana ini telah menyebabkan infrastruktur dan strata sosial yang sudah terbangun selama ratusan tahun seketika itu juga lenyap 4 Desa yang ditenggelam yaitu Kedungbendo, Siring (Timur), Jatirejo (Timur) dan Desa Renokenongo (4 peduhkuhan) ditenggelamkan oleh banjir lumpur panas lapindo.
Desa Gempolsari yang tidak layak huni karena terletak persis di sebelah utara tanggul penampung lumpur, serta beberapa desa yaitu Besuki Barat, Pejarakan, Kedungcangkring, Jatirejo Barat, Siring Barat, dan 3 RT di Desa Mindi menyusul ditetapkan sebagai area tidak layak huni oleh para Tim Independent dan diharapkan masuk ke dalam peta area terdampak sampai saat ini belum mendapatkan kepastian dan kejelasan.
Terjadinya semburan Lumpur Panas Lapindo yang menenggelamkan 4 Desa serta Desa yang lainnya bukan saja menimbulkan persoalan ekonomi saja, tetapi juga diiringi dampak secara phisikologis kepada warga, terjadinya perpindahan penduduk dikarenakan keterpaksaan.
PT. Minarak Lapindo Jaya yang mewakili proses penyelesaian ganti rugi kepada para korban lumpur hingga saat ini banyak mengalami penundaan atau keterlambatan pembayaran angsurannya tanpa ada konfirmasi dan kejelasan.
Sedangkan warga yang memilih opsi 80% Resetllement di Kahuripan Nirwana Village juga mengalami proses yang sama dengan para korban lumpur yang memilih opsi Cash and Carry. hingga saat ini korban lumpur yang menghuni di Kahuripan Nirwana Village belum juga mendapatkan kepastian kapan warga menerima sertifikatnya yg dibeli dari hasil 80% aset mereka yang tenggelam oleh Lumpur Panas Lapindo.
Korban Lumpur Panas Lapindo dibuat tidak berdaya serta tidak memiliki pilihan ini selalu menjadi alat untuk kepentingan para elite-elite pimpinan PT. Minarak Lapindo Jaya, untuk kepentingan pribadi maupun mencari muka di depan Bos mereka, kondisi rapuhnya secara ekonomi korban lumpur ini dimaanfatkan oleh mereka untuk memenuhi semua kepentingan2 pribadi tersebut.
Untuk meluruskan dan memberikan Informasi yang sebenarnya-benarnya kepada masyarakat agar korban lumpur tidak lagi menjadi alat politisasi kepentingan semata, kami dengan mencoba untuk mendirikan beberapa posko pemantau dan beberapa kegiatan, kami mencoba perlunya adanya kegiatan kultur yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kolektifitas warga korban lumpur akan peristiwa budaya, relasi serta interaksi sosial yang sudah mereka tinggalkan di dalam luapan lumpur panas lapindo.
Bangkitnya memori kolektif warga korban diharapkan bisa memperkuat kembali ikatan kultural dan mencairkan ketegangan yang selama ini mengemuka. Ke luar, kemunculan memori kolektif diharapkan bukan saja sebagai penguat solidaritas publik kepada korban lumpur yang mulai tenggelam karena hiruk-pikuk isu-isu kekinian, tetapi juga sebagai penanda kepada publik agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan. Dengan demikian acara ini adalah salah satu bentuk mengingat sebagai perlawanan kultural
Bencana ini telah menyebabkan infrastruktur dan strata sosial yang sudah terbangun selama ratusan tahun seketika itu juga lenyap 4 Desa yang ditenggelam yaitu Kedungbendo, Siring (Timur), Jatirejo (Timur) dan Desa Renokenongo (4 peduhkuhan) ditenggelamkan oleh banjir lumpur panas lapindo.
Desa Gempolsari yang tidak layak huni karena terletak persis di sebelah utara tanggul penampung lumpur, serta beberapa desa yaitu Besuki Barat, Pejarakan, Kedungcangkring, Jatirejo Barat, Siring Barat, dan 3 RT di Desa Mindi menyusul ditetapkan sebagai area tidak layak huni oleh para Tim Independent dan diharapkan masuk ke dalam peta area terdampak sampai saat ini belum mendapatkan kepastian dan kejelasan.
Terjadinya semburan Lumpur Panas Lapindo yang menenggelamkan 4 Desa serta Desa yang lainnya bukan saja menimbulkan persoalan ekonomi saja, tetapi juga diiringi dampak secara phisikologis kepada warga, terjadinya perpindahan penduduk dikarenakan keterpaksaan.
PT. Minarak Lapindo Jaya yang mewakili proses penyelesaian ganti rugi kepada para korban lumpur hingga saat ini banyak mengalami penundaan atau keterlambatan pembayaran angsurannya tanpa ada konfirmasi dan kejelasan.
Sedangkan warga yang memilih opsi 80% Resetllement di Kahuripan Nirwana Village juga mengalami proses yang sama dengan para korban lumpur yang memilih opsi Cash and Carry. hingga saat ini korban lumpur yang menghuni di Kahuripan Nirwana Village belum juga mendapatkan kepastian kapan warga menerima sertifikatnya yg dibeli dari hasil 80% aset mereka yang tenggelam oleh Lumpur Panas Lapindo.
Korban Lumpur Panas Lapindo dibuat tidak berdaya serta tidak memiliki pilihan ini selalu menjadi alat untuk kepentingan para elite-elite pimpinan PT. Minarak Lapindo Jaya, untuk kepentingan pribadi maupun mencari muka di depan Bos mereka, kondisi rapuhnya secara ekonomi korban lumpur ini dimaanfatkan oleh mereka untuk memenuhi semua kepentingan2 pribadi tersebut.
Untuk meluruskan dan memberikan Informasi yang sebenarnya-benarnya kepada masyarakat agar korban lumpur tidak lagi menjadi alat politisasi kepentingan semata, kami dengan mencoba untuk mendirikan beberapa posko pemantau dan beberapa kegiatan, kami mencoba perlunya adanya kegiatan kultur yang diharapkan bisa menghidupkan kembali kolektifitas warga korban lumpur akan peristiwa budaya, relasi serta interaksi sosial yang sudah mereka tinggalkan di dalam luapan lumpur panas lapindo.
Bangkitnya memori kolektif warga korban diharapkan bisa memperkuat kembali ikatan kultural dan mencairkan ketegangan yang selama ini mengemuka. Ke luar, kemunculan memori kolektif diharapkan bukan saja sebagai penguat solidaritas publik kepada korban lumpur yang mulai tenggelam karena hiruk-pikuk isu-isu kekinian, tetapi juga sebagai penanda kepada publik agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan. Dengan demikian acara ini adalah salah satu bentuk mengingat sebagai perlawanan kultural
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.