Pembayaran Pelunasan Korban Lumpur Lapindo Masih Mendapatkan Janji Dari Minarak Lapindo Jaya Sekitar 250 Warga Korban Lumpur Lapindo Yang Tinggal Di Kahuripan Nirwan Terima Sertifikat Rumahnya Korban Leasing Sulit Mendapatkan Keadilan dari Kepolisian Polres Sidaorjo Tidak Menanggapai Laporan Korban Leasing Korban Leasing Takut Untuk Membuat Laporan Kepada Kepolisan Program Anak Asuh JAS MERAH untuk Anak-Anak Kurang Beruntung Isu Kudeta Tidak Terbukti, Lapas Di Jogja di Kudeta Pasukan Tidak Dikenal PT. MINARAK LAPINDO JAYA YANG BERJANJI MENYELESAIKAN SERTIFIKAT WARGA KAHURIPAN PADA BULAN OKTOBER, TIDAK TERBUKTI

Jumat, 08 Oktober 2010

Koordinator Korban Lumpur Lapindo SUMITRO: Pemimpin Hanya Pandai Obral Janji

(KUTIPAN PADA SAAT PERJUANGAN MENUNTUT HAK YANG SELAMA 3 TAHUN TANPA ADA KEPASTIAN DARI LAPINDO....)

Hampir tiga tahun korban luapan lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, menderita. Nasib mereka terkatung-katung. Selama itu pula mereka tak lelah berjuang memperoleh hak-hak mereka. Korban lumpur telah mengadukan nasibnya ke Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jawa Timur. Mereka juga telah mengajukan uji materi Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung, meski akhirnya ditolak.

Namun, proses penyelesaian yang adil begitu alot. Pada saat yang sama, penanganan dan pengendalian luapan lumpur tak menghasilkan apa-apa. Luapan lumpur Lapindo makin meluas, tanggul-tanggul yang dibuat kerap jebol.

Atas tawaran penyelesaian oleh pihak Lapindo dan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, korban terpecah-pecah atas beberapa kelompok. Warga Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera (Perumtas), misalnya, terpecah menjadi dua kelompok, satu kelompok memilih konsep ganti rugi sesuai dengan Perpres Nomor 14 Tahun 2007, kelompok lain mengikuti keinginan Lapindo yang menjanjikan sisa ganti rugi sebesar 80 persen akan dibayarkan secepatnya dalam bentuk rumah di salah satu kawasan perumahan di daerah Sukodono, Sidoarjo.
Di tengah proses penyelesaian, baru-baru ini Tim Pengawasan Lumpur Lapindo DPR memutuskan bahwa lumpur Lapindo adalah bencana alam. Salah satu korban, Sumitro, waswas atas keputusan tim itu. Ia khawatir Lapindo tidak mau melunasi sisa pembayaran 80 persen.
Hampir tiga tahun lelaki 40 tahun ini berjuang mendapatkan ganti rugi atas rumah dan tanahnya di Perumtas. Ayah dua anak ini memang dikenal sebagai koordinator korban lumpur Lapindo dari Perumtas. Kegigihannya bersama korban yang lain kini membuahkan hasil: Perumtas diakui masuk peta terkena dampak lumpur sehingga berhak mendapat ganti rugi.

Saat ini penjual bahan kebutuhan pokok itu bergabung dengan Gerakan Menutup Semburan yang dipelopori tokoh Nahdlatul Ulama, Shalahuddin Wahid. Dengan gerakan ini, diharapkan penderitaan warga Porong segera berakhir jika semburan terhenti.
Di tengah kesibukannya mengikuti safari gerakan itu, Sumitro menerima wartawan Tempo, Rohman Taufiq, di pendapa Kabupaten Sidoarjo, Kamis pekan lalu. Berikut ini petikannya.
Bagaimana kondisi korban luapan lumpur Lapindo sekarang?
Kondisi warga kini masih terpecah berkelompok-kelompok. Ada kelompok pendukung resettlement (perpindahan tempat tinggal), yang selalu mencari dukungan warga lainnya. Ada juga kelompok yang masih bertahan di pengungsian. Selain itu, ada kelompok di luar peta yang kini juga terpecah: satu dapat ganti rugi APBN (anggaran pendapatan dan belanja negara), satu lainnya belum jelas. Tapi saat ini mayoritas warga sudah tenang, tinggal menunggu proses pembayaran sisa ganti rugi 80 persen.
Kondisi anak-anak bagaimana? Apakah mereka mengalami depresi akibat penderitaan orang tua mereka?
Yang saya tahu, mereka bergantung kepada orang tua masing-masing. Yang kasihan anak yang masih di pengungsian. Mereka harus tidur dan makan seadanya. Untuk yang sudah dapat ganti rugi, saat ini mereka sudah mulai menata hidup baru di tempat baru. Mungkin mereka juga sudah mendapat teman bermain baru.
Kabarnya ada yang stres dan mencoba bunuh diri?
Saya pernah dengar, tapi tidak tahu datanya. Mungkin warga yang saat ini masih berada di pengungsian.
Apa yang sudah dilakukan untuk mengatasi dampak psikologis pada korban, baik orang dewasa maupun anak-anak?
Khusus di pengungsian, ada beberapa posko kesehatan dan psikiater yang rutin ke sana. Tapi yang namanya anak-anak tetap kasihan karena tiap hari melihat orang tuanya merenung bingung.
Selama ini penanganan di pengungsian bagaimana?
Makan tetap seperti dulu, seadanya dan tidak ada nilai gizinya. Bantuan sering ada, tapi volumenya tidak sebanding dengan jumlah korban.
Baru-baru ini Tim Pengawas Lumpur DPR memutuskan luapan lumpur Lapindo sebagai bencana alam. Apa tanggapan Anda?
Saya sudah menduga sebelumnya. Apa, sih, yang tidak bisa dibeli Lapindo? Anggota Pansus ketika ke Sidoarjo lagaknya membela warga, tapi setelah di Jakarta lain lagi. Saya sudah tahu kunjungan mereka ke warga hanya untuk cari muka, tapi data pesanan sepenuhnya sudah mereka kantongi.
Apakah dengan keputusan itu berarti DPR tidak berpihak kepada korban?
Pastilah. Politikus hanya pintar cari muka. Hayo, siapa yang tidak hanya cari muka? Tidak ada, kan?
Apa kira-kira konsekuensinya jika lumpur Lapindo dinyatakan sebagai bencana alam?
Hal terburuk yang kami takutkan, Lapindo tidak mau melunasi sisa pembayaran 80 persen. Apalagi uang muka 20 persen saja hingga kini banyak yang belum selesai. Rumah saya, misalnya, hingga kini belum dibayar juga. Minarak (juru bayar Lapindo, PT Minarak Lapindo Jaya) banyak alasannya. Berkas saya ndak pernah diproses, mungkin karena saya adalah salah satu koordinator yang mokong (bandel), jadi dipersulit (sambil tertawa). (Vice President PT Minarak Lapindo Jaya Andi Darussalam Tabusalla, kepada Tempo mengatakan pada Januari lalu bahwa masih terdapat 174 berkas yang belum diproses untuk mendapatkan realisasi ganti rugi uang muka 20 persen. "Kami berjanji seluruh berkas akan selesai paling lambat dua minggu dari sekarang atau pada 13 Februari depan sudah terbayar," kata Andi Darussalam waktu itu. Adapun sisa pembayaran 80 persen tetap akan mulai dibayarkan pada Mei 2008. Mengenai berkas milik Sumitro dan beberapa warga, ketika dihubungi via telepon selulernya Kamis lalu, Andi mengatakan bahwa berkas itu masuk setelah 30 November 2007 dan berkas tersebut masih berada di Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. "Itu bukan kewenangan saya," ujar Andi. Kalau berkas yang masuk sebelum 30 November, kata dia, sudah diproses, beberapa di antaranya sedang dalam proses negosiasi.)
Mengapa Anda merasa mokong?
Jelaslah, teman-teman saya yang dulu seperjuangan kini hampir semuanya berpihak pada usul resettlement, yang berarti menolak konsep ganti rugi jual-beli. Bahkan mereka kini jadi korlap (koordinator lapangan) untuk mencari warga yang menginginkan resettlement. Padahal resettlement tidak diatur di dalam Perpres Nomor 14 Tahun 2007.
Program perpindahan tempat tinggal bagaimana?
Sisa pembayaran 80 persen akan dirupakan sebuah rumah di Sukodono. Nantinya harga rumah ini akan diambilkan dari sisa pembayaran 80 persen. Jika masih tersisa, Minarak mengembalikan sisa harga rumah tersebut kepada warga. Hal seperti ini kan tidak diatur dalam perpres. Tapi kini mulai banyak warga yang tergiur dan menerimanya. Padahal, dengan konsep ini, kesenjangan antarwarga semakin lebar. Bahkan beberapa waktu lalu, ribuan warga menggelar unjuk rasa minta Lapindo membatalkan resettlement karena dinilai memecah belah warga. Buktinya (lantas Sumitro menunjukkan salah seorang koordinator warga pendukung resettlement yang tidak mau menoleh kepada Sumitro, padahal orang itu berdiri tak jauh dari tempat kami berbicara), Anda tahu sendiri dia dulu teman akrab saya, tapi kini kami seakan tidak saling kenal.
Dengan kondisi semacam ini, apa yang Anda inginkan?
Sebenarnya saya tidak mempermasalahkan adanya resettlement, asalkan Lapindo berlaku adil dan menyelesaikan dulu sisa pembayaran 80 persen. Tapi yang terjadi saat ini kan yang menginginkan resettlement diproses dulu. Padahal kami yang mengikuti perpres diabaikan dan belum juga dilakukan pembayaran sisa 80 persen, bahkan 20 persen uang muka juga masih banyak yang belum terbayar.
Perpecahan warga terjadi sejak kapan?
Sejak awal kami memang terbelah menjadi beberapa kelompok. Kami dikondisikan untuk berkelompok-kelompok sehingga tidak kuat. Contoh yang paling dekat terpecahnya warga Mindi, Siring Barat, Jatirejo Barat dengan warga Besuki, Pejarakan, dan Kedungcangkring. Padahal dulu mereka berjuang bersama. Tapi pemerintah akhirnya memecah mereka dengan hanya menyetujui sebagian dari desa tersebut yang akan mendapat ganti rugi. Apalagi Perpres Nomor 14 Tahun 2007 memang tidak tegas mengatur soal ganti rugi. Warga Perumtas dulu juga sempat pecah antara yang manut kepada para ketua RW dan yang tidak. Bahkan antarkelompok sempat terjadi adu fisik.
Korban pernah mengajukan uji materi Perpres Nomor 14 Tahun 2007 ke Mahkamah Agung, tapi kemudian MA menolak. Bagaimana tanggapan Anda?
Selain tidak mengakomodasi kawasan di luar peta, perpres ini sangat tidak lengkap. Contohnya, urusan perbankan tidak diatur di dalamnya. Padahal semua warga perumahan masih terikat tanggungan dengan bank yang memberikan kredit perumahan. Dulu Gubernur BI memutuskan memberikan penangguhan masa angsur hingga Mei 2009, tapi dalam perpres ini tidak diatur. Padahal, kalau tidak diperpanjang, ganti rugi yang akan kami dapatkan akan habis untuk bayar sisa pembayaran rumah. Berarti, kami sama halnya tidak dapat ganti rugi.
Apa yang Anda harapkan dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kasus lumpur Lapindo?
Saya tidak berharap banyak. Saya sudah tahu siapa SBY dan siapa Abu Rizal Bakrie.
Dalam hal status lumpur, dalam pandangan Anda pemerintah tidak serius menangani lumpur Lapindo?
Kita bisa lihat sendiri, keputusan pemerintah selalu lambat. Lambat tapi menguntungkan tidak apa-apa. Ini lambat tapi sama saja, toh, di luar peta terdampak akhirnya juga diambilkan dari dana APBN.
Presiden Yudhoyono lebih berpihak kepada korban atau kepentingan Grup Bakrie?
Sudah jelas menteri semacam itu masih dipertahankan SBY. Jadi sudah jelas kepada siapa SBY berpihak.
Siapa pemimpin atau partai politik yang bisa diharapkan turut menyelesaikan masalah ini?
Hampir semua pemimpin kerap berkunjung ke Porong, tapi semuanya hanya pandai mengobral janji. Kenyataannya, hingga saat ini nasib warga tetap tak berubah.
Pada pemilihan presiden 2009, para korban akan memilih siapa, yang bisa diharapkan membela nasib korban?
Saya tidak tahu pilihan warga. Tapi mayoritas mungkin akan golput (tidak memilih), termasuk saya.
BIODATA
Nama: Sumitro
Lahir: Sidoarjo, 25 Januari 1968
Alamat: Rumahnya di Perumtas Blok L-17 Nomor 16 terendam lumpur. Kini ia mengontrak rumah di kawasan Sawotratap, Sidoarjo.
Istri: Indayani
Anak: 1. M. Alfian 2. Sabrina
Pekerjaan:

  • Buka kios bahan kebutuhan pokok.




  • http://www.korantempo.com

    0 komentar:

    Posting Komentar

    Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.

    KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN SUDI MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL YANG ADA PERJUANGAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI KAMI TERUS AKAN MELAWAN SAMAPAI KAPANPUN BANTUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT SANGAT KAMI BUTUHKAN, DERITA KAMI JANGAN DI BAWA KE RANAH POLITIK

    Share

    Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More