Pembayaran Pelunasan Korban Lumpur Lapindo Masih Mendapatkan Janji Dari Minarak Lapindo Jaya Sekitar 250 Warga Korban Lumpur Lapindo Yang Tinggal Di Kahuripan Nirwan Terima Sertifikat Rumahnya Korban Leasing Sulit Mendapatkan Keadilan dari Kepolisian Polres Sidaorjo Tidak Menanggapai Laporan Korban Leasing Korban Leasing Takut Untuk Membuat Laporan Kepada Kepolisan Program Anak Asuh JAS MERAH untuk Anak-Anak Kurang Beruntung Isu Kudeta Tidak Terbukti, Lapas Di Jogja di Kudeta Pasukan Tidak Dikenal PT. MINARAK LAPINDO JAYA YANG BERJANJI MENYELESAIKAN SERTIFIKAT WARGA KAHURIPAN PADA BULAN OKTOBER, TIDAK TERBUKTI

Minggu, 07 Agustus 2011

Pemerintah Menjadikan Lumpur Lapindo "Wisata"


Tepat pada 29 Mei 2006, semburan lumpur panas keluar di kawasan areal eksplorasi PT Lapindo Brantas Inc Sumur Banjar Panji 1, di Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Hingga lima tahun berselang semburan lumpur Lapindo sepertinya tidak ada tanda-tanda akan berhenti, bahkan semburan lumpur Lapindo masih sangat kuat dengan rata-rata volume semburan sekitar 100 ribu meter kubik per hari. Bila dihitung hingga saat ini volume lumpur yang tertampung di kolam penampungan kurang lebih sekitar 720 hektare mencapai sekitar 12 juta meter kubik.

Lumpur sebanyak itu telah menenggelamkan lebih dari 12 desa, 35 pabrik, dan “menyingkirkan” 90 ribu warga dari desa kelahirannya. Tidak hanya itu, lumpur juga memutuskan jalan tol Gempol-Surabaya, jalan arteri Porong yang menghubungkan Surabaya-Malang dan Surabaya-Pasuruan-Banyuwangi (jalur pantura timur), dan rel kereta api lintas timur yang menghubungkan Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi. 

Lokasi semburan hanya berjarak 150-500 meter dari Sumur Banjar Panji-1 (BJP-1) yang merupakan sumur eksplorasi gas milik Lapindo Brantas Inc sebagai operator Blok Brantas. Jarak titik semburan dengan sumur BJP-1 itulah yang memicu polemik tentang penyebab semburan, apakah semburan lumpur panas itu disebabkan aktivitas pengeboran atau musibah yang bersifat alami.

Polemik itu masih berkembang tanpa kejelasan, namun areal lumpur semakin luas dan akhirnya pemerintah harus menanggung beban kawasan di luar peta terdampak.

Urusan itu tidak tanggung-tanggung, karena pemerintah sudah menggunakan uang rakyat dari APBN sebesar Rp. 4 triliun yakni Rp. 450 miliar pada 2007, Rp. 1,57 triliun (2008), Rp. 1,15 triliun (2009), dan Rp. 1,2 triliun pada 2010.

Tentu saja, rakyat akan semakin banyak mengeluarkan uang, karena dua hal yakni akhir dari semburan lumpur itu tidak diketahui dan ganti rugi bagi para korban juga belum tuntas, meskipun Presiden memberikan batas waktu hingga 2012 kepada PT. Minarak Lapindo Jaya selaku juru bayar yang di tunjuk oleh PT. Lapindo Brantas Inc untuk menyelesaikan persoalan ganti rugi.
“Sejak pertama kali timbul semburan lumpur panas sampai timbulnya semburan baru sekarang ini, kami melihat tidak adanya penanganan yang terintegrasi,” kata Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur Arif Hari Setiawan di Surabaya (30/4/2010).

Oleh sebab itu, dia meminta Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Pemprov Jatim, Pemkab Sidoarjo, dan kalangan akademisi saling berkoordinasi terkait persoalan itu.

“Kalau permasalahan lumpur dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir investasi di Jatim akan kacau, karena beberapa waktu lalu sudah ada investor asing yang urung berinvestasi di Probolinggo setelah mengetahui lokasi investasi di timur Lapindo,” katanya.

Wisata Lapindo, di tengah penyelesaian masalah lumpur Lapindo yang tanpa ujung kejelasan dan kepastian itu, muncul gagasan untuk mengembangkan potensi negatif dari lumpur Lapindo menjadi areal tersebut sebagai wisata lumpur Lapindo.

Misalnya, Kepala Dinas Pendidikan Jawa Timur Suwanto justru mempersilakan ratusan peserta orientasi kelembagaan dan penyelenggaraan program PNFI dari seluruh Indonesia di Surabaya untuk “wisata” ke “kuala” lumpur itu.

“Panitia tidak salah menetapkan lokasi orientasi di Surabaya, karena dalam jarak 25 kilometer dari sini ada lokasi wisata yang tidak ada duanya di Indonesia,” ucapnya dalam pembukaan orientasi itu di Surabaya (27/3/2010).

Ungkapan itu dilanjutkan dengan lokasi yang dimaksud adalah “kuala” lumpur atau lumpur Lapindo yang setiap harinya mengeluarkan lumpur panas 100.000 meter kubik lebih per hari dan hingga kini “hanya” menjadi kawasan yang banyak dikunjungi masyarakat dari berbagai daerah.

“Saking banyaknya lumpur yang disemburkan, maka lumpur itu sekarang dialirkan ke laut lewat Kali Porong,” tutur mantan Kepala Dinas Infokom Jatim itu.

Dengan gaya promosi, Suwanto mempersilakan peserta untuk melihat dari dekat. “Mumpung di sini, Anda dapat melihat sendiri dari dekat, bukan dari orang lain,” tukasnya, bak Kepala Dinas Pariwisata itu.

Agaknya, gagasan itu sudah menasional, karena pemerintah pusat dikabarkan telah menyiapkan dana Rp273 miliar untuk merealisasikan pembangunan objek wisata geologi di sekitar semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas Inc.

“Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyiapkan dana Rp273 miliar untuk wisata geologi Lapindo,” kata Gubernur Jawa Timur, Soekarwo, di Surabaya (28/5/2010).

Lokasi objek wisata geologi itu berada di sebelah utara semburan lumpur panas PT Lapindo Brantas Inc seluas 83 hektare dan tak jauh dari kawasan pesisir utara Kabupaten Sidoarjo.

Paling tidak, gagasan itu membuat masyarakat sekitar akan terhibur, karena perekonomian akan berjalan kembali, apalagi tidak jauh dari lokasi juga terdapat sentra industri kerajinan kulit.

Namun, alumni ITS Surabaya Djaja Laksana menilai gagasan wisata lumpur Lapindo itu sebenarnya dapat dipadukan dengan ihtiar menghentikan luapan lumpur Lapindo tanpa harus membuang ke laut.

“Hingga saat memang tidak ada lagi teori yang mampu menghentikan semburan selain teori Bernoulli dan tidak ada satu pakarpun yang menyanggah teori ini,” katanya di Sidoarjo (27/5/2010).

Dengan mengetahui `total head` (ketinggian maksimal) semburan, maka semburan dapat dikendalikan dan dihentikan sesuai Teori Bernoulli yakni membuat bendungan yang melebihi `total head` yang dibuat melingkar mengelilingi pusat semburan, sehingga bendungan itu dapat dijadikan kawasan wisata.

Agaknya, gagasan menjadikan kawasan lumpur Lapindo sebagai lokasi wisata tidak cukup hanya berhenti pada kepentingan “wisata”, melainkan perlu dipadukan dengan ihtiar menyelesaikan semburan itu, sehingga rakyat Porong dan sekitarnya tidak hanya diuntungkan sesaat.

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.

KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN SUDI MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL YANG ADA PERJUANGAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI KAMI TERUS AKAN MELAWAN SAMAPAI KAPANPUN BANTUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT SANGAT KAMI BUTUHKAN, DERITA KAMI JANGAN DI BAWA KE RANAH POLITIK

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More