Semburan Lumpu Lapindo setelah lebih dari 4 tahun volume semburan juga tetap tidak stabil dengan perkiraan antara 100 – 150 ribu m3 perhari, Sementara ini tidak ada satupun ahli yang bisa memprediksikan berapa lama semburan itu akan berlangsung, berbagai macam prediksi para ahli berbeda-beda ada yang mengatakan 31 tahun dan ada yang mengatakan Semburan akan berhenti 50 tahun lagi.
Pada pertengahan 2007, BPLS dan Lapindo mengeluarkan data tabel perkiraan volume semburan dan luas area terdampak setelah 2 dan 3 tahun. Data tersebut memperkirakan bahwa luas area terdampak akan semakin meningkat seiring dengan terus keluarnya semburan (lihat tabel).
Tabel 1 Perkiraan volume dan luas area terdampak *)
Lama | Waktu | Area (ha) | Volume (m3) | Rate (m3/hari) |
1 bulan | Juni 2006 | 111 | 1,117,282 | 50,785 |
2 bulan | Juli 2006 | 179 | 2,457,422 | 44,671 |
1 tahun | Mei 2007 | 628 | 37,324,748 | 111,042 |
1,5 tahun | Desember 2007 | 832 | 57,756,556 | |
2 tahun | Juni 2008 | 960 | 78,077,323 | |
2,5 tahun | Desember 2008 | 1252 | 98,398,098 | |
3 tahun | Juni 2009 | 1393 | 118,607,813 |
*) Keterangan :
Perhitungan bulan pertama, kedua dan 1 tahun didasarkan pada survey lapangan. Sedangkan perhitungan berikutnya didasarkan pada simulasi dengan menggunakan model komputer dengan asumsi tingkat semburan pada level perkiraan ini dibuat, yaitu Juni 2007
Prediksi pakar dan perkiraan dari pemerintah sendiri justru disikapi dengan keluarnya kebijakan yang cukup aneh. Pada bulan April 2007, keluar Peraturan Presiden no 14/2007, yang mengatur tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), sekaligus menetapkan apa yang disebut peta area terdampak.
Peta ini seolah mengasumsikan bahwa semburan Lumpur sudah berhenti pada waktu Perpres dikeluarkan. Juga kawasan yang terdampak, sekaligus pengakuan warga yang tinggal di wilayah itu sebagai korban (sehingga bisa mendapat bantuan), tidak akan bertambah luas fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
Peta ini seolah mengasumsikan bahwa semburan Lumpur sudah berhenti pada waktu Perpres dikeluarkan. Juga kawasan yang terdampak, sekaligus pengakuan warga yang tinggal di wilayah itu sebagai korban (sehingga bisa mendapat bantuan), tidak akan bertambah luas fakta di lapangan justru menunjukkan sebaliknya.
SEMBURAN LUMPUR YANG SEMAKIN MELUAS
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh tim pakar dari beberapa negara, pada bulan Juni 2008, mengeluarkan kesimpulan yang sangat mengkhawatirkan. Tim yang dipimpin oleh Prof Richard Davies dari Durham University Inggris ini menemukan bahwa kawasan di seputar semburan, terus mengalami amblesan (subsidence) dampak dari bencana ini ternyata terus meluas.
Di lapangan sampai saat ini sudah ditemukan lebih dari 176 titik semburan gas yang aktif diluar kawasan yang sudah terendam bersamaan dengan keluarnya titik semburan gas baru dan amblesan disekitar lokasi, membawa berbagai macam dampak penurunan kualitas hidup bagi masyarakat yang masih tinggal di daerah sekitaran tersebut.
Awal tahun 2008, Gubernur Jawa Timur membentuk sebuah tim pakar dari berbagai disiplin ilmu. Tim yang dibentuk berdasarkan SK Nomor 188/158/KPTS/013/2008 bertujuan untuk melakukan kajian kelayakan permukiman akibat semburan Lumpur di Sidoarjo terhadap 9 desa di Kecamatan Porong dan Tanggulangin.
Aspek-aspek yang dikaji antara lain adalah : Emisi semburan dan bubble gas, pencemaran udara, air sumur, penurunan tanah, kerusakan rumah dan bangunan, keluhan kesehatan akibat pencemaran gas dan air serta ancaman banjir.
Hasilnya, sangat mencengangkan. Temuan sementara yang dipublikasikan pada akhir Mei 2010, tiga desa, yaitu Siring Barat, Jatirejo Barat dan Mindi dinilai kerusakannya sudah sangat parah dan tidak layak huni. Bahkan dengan tegas tim menyebutkan bahwa penghuni desa-desa ini harus segera direlokasi.
Tabel 2 Hasil kajian untuk Desa Siring Barat
No. | KONDISI | HASIL SURVEY | KETERANGAN |
1 | Emisi semburan dan bubble | Hydrocarbon 115000-441200 ppm, Ambang batas 500 ppm | Sudah jauh melebihi ambang batas |
2 | Pencemaran udara | Hidrocarbon 2128-55000 ppm, Ambang batas 0,24 ppm | Sudah jauh melebihi ambang batas |
3 | Air sumur | Zat Pdt,Fe, Mn, Cl, Cd, KMnO4>BM | Tidak layak untuk MCK |
4 | Penurunan tanah | 60 – 100 m | Mengakibatkan kerusakan bangunan |
5 | Kerusakan yan dapat mengancam keamanan bagi para penghuninya | 56 rumah dari 255 rumah yang ada, telah ditinggalkan oleh penghuninya | Yang dilihat adalah: kerusakan atap, dinding dan lantai |
6 | Keluhan terhadap pencemaran gas, pencemaran air, gangguan kesehatan dan ancaman banjir | Sesak nafas, mual, batuk, pusing, gatal-gatal. | Tidak layak huni Perlu segera dievakuasi |
Ambang batas emisi pada semburan yang bisa diterima adalah 500 ppm. Sedangkan yang ditemukan mencapai 115000 - 441200 ppm, atau 230 - 880 kali lipat. Sedangkan pencemaran udara, angkanya lebih fantastis. Dari kadar yang bisa diterima yaitu 0,24 ppm, di Desa ini ditemukan adanya konsentrasi hydrocarbon sebesar 2128 – 55000 ppm atau 8ribu - 220ribu kali lipat.
Kajian yang dilakukan oleh dua lembaga lainnya menghasilkan temuan yang hampir serupa. Walhi Jatim yang bekerja sama dengan Universitas Airlangga menemukan bahwa kandungan Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAH) mencapai 2000 kali lipat dari ambang normal.
Lembaga lainnya adalah United States Geological Survey (USGS), yang sudah melakukan kajian atas permintaan departemen luar negeri Indonesia menemukan adanya kandungan PAH, dan mengusulkan serangkaian tindakan pemantauan dan pencegahan yang perlu dilakukan pemerintah agar tidak membahayakan warga dan lingkungan.
Padahal, PAH ini sangat berbahaya. PAH merupakan senyawa kimia yang terbentuk akibat proses pembakaran tidak sempurna dari bahan bakar fosil. Kandungan ini jamak ditemukan di sekitar area eksplorasi minyak dan gas. United Nations Environment Programme (UNEP) menyebutkan bahwa PAH adalah senyawa organik yang berbahaya dan karsinogenik.
Sementara National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) menetapkan bahwa kandungan PAH yang tinggi bisa berakibat kebakaran, dan kepada manusia bisa menyebabkan Asphyxia, atau tercekik karena tiba-tiba tubuh kehilangan oksigen akibat reaksi CH4 dan O2. Dampak paling ringan tentu saja keluhan yang sangat umum, seperti sesak nafas, mual, pusing dan batuk-batuk, Dampak paling berat tentu saja kematian.
Dan peringatan ini ternyata bukan isapan jempol keluhan ringan tadi umum dialami oleh setiap orang yang baru pertama kali datang ke sekitar lokasi lumpur, sedangkan temuan tim di lapangan sudah pula didapati kejadian fatal yang dialami warga desa diluar peta ini.
Selain bahaya akibat Hydrocarbons ini, tentu saja masih banyak bahaya-bahaya yang lain juga terus akan menghantui warga desa-desa diluar Peta terdampak.
Selain bahaya akibat Hydrocarbons ini, tentu saja masih banyak bahaya-bahaya yang lain juga terus akan menghantui warga desa-desa diluar Peta terdampak.
TIDAK JELAS PENANGANAN KORBAN LUMPUR
Apa reaksi Pemerintah terhadap kondisi yang sudah sedemikian parah??? Sampai sekarang hampir tidak ada??? Perpres 14/2007 yang ada malah menimbulkan kerancuhan.
Ketika warga melapor kepada Pemerintah daerah dijawab bahwa dampak lumpur sudah ditangani Pemerintah Pusat ketika ditanyakan pemerintah pusat dijawab bahwa sudah dibentuk BPLS (Badan Penangan Lumpur Sidoarjo) untuk menanganinya namun ketika ditanyakan kepada BPLS dijawab bahwa mereka BPLS hanya bertanggungjawab menangani wilayah didalam peta area terdampak, atau tehnisnya saja akibatnya seolah-olah tidak ada satupun lembaga yang bertanggungjawab terhadap nasib warga yang tinggal di sekitar lokasi semburan ini.
Ketika warga melapor kepada Pemerintah daerah dijawab bahwa dampak lumpur sudah ditangani Pemerintah Pusat ketika ditanyakan pemerintah pusat dijawab bahwa sudah dibentuk BPLS (Badan Penangan Lumpur Sidoarjo) untuk menanganinya namun ketika ditanyakan kepada BPLS dijawab bahwa mereka BPLS hanya bertanggungjawab menangani wilayah didalam peta area terdampak, atau tehnisnya saja akibatnya seolah-olah tidak ada satupun lembaga yang bertanggungjawab terhadap nasib warga yang tinggal di sekitar lokasi semburan ini.
Sementara hasil kajian dari tim gubernur juga mengalami ketidakjelasan nasib. menurut ketua Tim, lsamapai sekaranpun tidakpernah ada tindaklanjut atau dengan kebijakan yang kongkret kebijakan baru yang muncul malah berbeda sama sekali dengan hasil rekomendasi.
Munculnya Perpres 48/2008 sebagai revisi Perpres 14/2007 malah memasukkan 3 desa di sebelah selatan tanggul, yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring. Ternyata tujuannya bukan untuk menyelamatkan warga, tetapi karena BPLS memerlukan wilayah ini untuk pembangunan kolam penampungan baru dan memudahkan pembuangan lumpur ke Kali Porong, timbul sebuah pertanyaan dasarnya darimana untuk membuat peta terdampak???
Munculnya Perpres 48/2008 sebagai revisi Perpres 14/2007 malah memasukkan 3 desa di sebelah selatan tanggul, yaitu Besuki, Pejarakan dan Kedung Cangkring. Ternyata tujuannya bukan untuk menyelamatkan warga, tetapi karena BPLS memerlukan wilayah ini untuk pembangunan kolam penampungan baru dan memudahkan pembuangan lumpur ke Kali Porong, timbul sebuah pertanyaan dasarnya darimana untuk membuat peta terdampak???
Sementara tiga belas desa yang jelas dalam laporan dikategorikan sangat parah malah tidak mendapatkan perlakuan apa-apa, dan terpaksa terus hidup dalam situasi yang serba tidak pasti. Demikian juga nasib desa-desa lainnya di luar peta terdampak, yang puluhan ribu warganya terpasa terus hidup dalam kondisi yang sangat berbahaya, SAMPAI KAPAN HARUS MENDERITA???
2 komentar:
Dampak Yang gak pernah dipikirkan oleh masyarakat sidoarjo dan Pemerintah....yang menjadi korban tetep juga Rakyatnya
Pemusnahan secara masal nih....pengurang penduduk.
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.