Pembayaran Pelunasan Korban Lumpur Lapindo Masih Mendapatkan Janji Dari Minarak Lapindo Jaya Sekitar 250 Warga Korban Lumpur Lapindo Yang Tinggal Di Kahuripan Nirwan Terima Sertifikat Rumahnya Korban Leasing Sulit Mendapatkan Keadilan dari Kepolisian Polres Sidaorjo Tidak Menanggapai Laporan Korban Leasing Korban Leasing Takut Untuk Membuat Laporan Kepada Kepolisan Program Anak Asuh JAS MERAH untuk Anak-Anak Kurang Beruntung Isu Kudeta Tidak Terbukti, Lapas Di Jogja di Kudeta Pasukan Tidak Dikenal PT. MINARAK LAPINDO JAYA YANG BERJANJI MENYELESAIKAN SERTIFIKAT WARGA KAHURIPAN PADA BULAN OKTOBER, TIDAK TERBUKTI

Rabu, 01 Desember 2010

Ramalan Sado Palon

Sabdo Palon, "Masa paling sengsara di Nusantara"

Begitu orde reformasi giliran menggantikan orde baru tatkala itulah rakyat di gunung-gunung seluruh Nusantara mulai ngamuk menebang habis pohon di hutan untuk dijadikan ladang jagung, singkong dan lainnya tergantung pada tingkat kesuburan tanah di areal hutan setempat. Di Jawa Timur sekitar petilasan keraton Sri Aji Joyoboyo yakni bukit Klotok dan pegunungan Wilis keadaan lebih parah lagi. Bukit klotok langsung gundul dan hutan di kaki dan punggung gunung Wilis hanya dalam beberapa tahun saja sudah berubah menjadi ladang jagung. Untuk membuka ladang jagung tersebut pohon-pohon langka yang hidup di bukit Klotok dan gunung Wilis ditebang habis, dan akibatnya tanah pegunungan melalui perantaraan akar-akar pohon tua yang berusia ratusan tahun tidak mampu lagi menyerap air hujan. Dan tidak dalam jangka panjang telah dapat mendatangkan banjir besar yang melanda wilayah dataran rendah wilayah Banyakan, kabupaten Kediri yang berada dalam radius beberapa kilometer dari gunung Wilis maupun bukit Klotok.

Demikian pula keadaan di daerah Lodoyo, Blitar Selatan hutan yang sudah kurus menjadi gundul dan tampak dari kejauhan sebagai bukit gersang. Contoh kecil di atas bisa dibuatkan daftar panjang jika mencakup seluruh wilayah hutan di Nusantara.

"Siapa cepat membabat hutan, maka dialah yang menjadi pemilik ladang baru." demikian ucapan penduduk setempat yang serentak merasa bebas menjarah hutan bersama lengsernya bapak pembangunan Jenderal Besar Soeharto yang sangat ditakuti oleh rakyat hingga jauh ke pelosok gunung-gunung, sehingga amanlah hutan untuk sementara waktu selama orde baru berkuasa.

Aparat kehutanan setempat menciut nyalinya menghadapi kegarangan penduduk yang secara serentak bergerak menjarah hutan, mereka menyelamatkan diri melindungi ekornya sendiri.
    Keadaan alam di pojok Jawa yang dapat menggambarkan Nusantara secara keseluruhan tersebut sudah menjadi Titah Sabdo Palon pada abad kelimabelas, yang berbunyi sebagai berikut:

Sanget-sangeting sangsara
Kang tuwuh ing tanah Jawi
Sinengkalan tahunira
Lawon Sapta Ngesthi Aji
Upami nyabarang kali
Prapteng tengah-tengahipun
Kaline banjir bandhang
Jeronne ngelebna jalmi
Katahah sirna manungsa prapteng pralaya.

Kelak akan terjadi masa paling sengsara di Jawa/Nusantara pada tahun "lawon sapta ngesti aji". Pada waktu itu seseorang yang hendak menyeberang sungai tatkala tiba di tengah-tengah sungai tiba-tiba arus sungai mendadak berubah sangat deras akibat banjir bandang, maka sungai itu pun meluap ke wilayah sekitarnya. Banjir besar (banjir bandang) itu akan terus terjadi dan memakan/menelan korban yang berjatuhan di mana-mana.

Gunung Klotok yang masyhur dengan Goa Selomangleng dan dekat keraton Kediri di masa lampau disebut Gunung Emas Kumambang menjadi sumber penghidupan bagi rakyat setempat yang berada di sekitar wilayah keraton Sri Aji Joyoboyo pada abad kesebelas. Semua tersedia melimpah di bukit Emas Kumambang, kayu bakar, hewan perburuan, tanaman obat-obatan, pakan ternak, dan lainnya. Di masa kolonialis Belanda bukit Emas Kumambang berubah nama diganti oleh penduduk menjadi bukit Klotok, bukit yang penuh kolo atau hewan berupa hama dan serangga.

Tahun lawon sapta ngesthi aji masih menghadang di masa depan, kapankah itu? Masa itu akan datang bersamaan rusaknya ekosistem yang paling menyengsarakan rakyat Nusantara ialah kurangnya sumber air bersih, dan ini berarti terjadinya di daerah gersang. Banjir yang terus-menerus akan mengikis lapisan tanah yang subur di daerah subur dan selanjutnya menjadi tanah gersang tak menghasilkan apapun. Dan pada gilirannya lenyaplah sumber atau mata air bersih. Begitulah lingkaran setan yang bakal terjadi tanpa dapat dicegah atau diatasi oleh negara sekalipun!

****
 
Sabdo Palon, "Sebarkan agama kawruh budi....!"

 
Dinasti Sanjaya pemeluk Hindu dan dinasti Syailendra pemeluk Buddha bergantian menguasai daerah selingkaran gunung Merapi. Pada 775 Rakai Panangkaran jadi bawahan Syailendra mendirikan candi Kalasan atas perintah sang atasan. Giliran pada 850 Rakai Pikatan raja dinasti Sanjaya mengambil alih seluruh wilayah dinasti Syailendra pimpinan Balaputradewa. Yang disebut belakangan ini memindahkan kekuasaannya dari pulau Jawa sekaligus mengambil alih pimpinan kerajaan Sriwijaya di Sumatera.
 

Dinasti Sanjaya yang diibaratkan "ayam jago" dan dinasti Syailendra sebagai "gemak putih" pada suatu kali pernah bertempur satu sama lain di wilayah gunung Merapi, tentu perseteruan kedua kerajaan ini sekaligus perseteruan antar umat beragama yang menggegerkan sekaligus mengundang danghyang tanah Jawa waktu itu Ismoyo turun tangan melerai pertikaian di atas. Jalan keluarnya ialah mengadu secara terbuka gemak putih dan ayam jago dari masing-masing kerajaan.

"Barangsiapa yang kalah dalam pertandingan ini maka akibatnya kelak ditanggung oleh anak-cucu sendiri," kata Ismoyo. Pertandingan pun berlangsung terbuka disaksikan para petinggi kedua kerajaan. Ayam jago dari wilayah Barat melawan gemak putih dari Selatan dengan pasaran tinggi tentu berada di tangan si ayam jago pilihan dan juara kerajaan. Gemak putih yang kecil dan tidak mungkin menang melawan seekor ayam yang berukuran jauh lebih besar itu tidak mendapat tempat dan tidak diunggulkan sama sekali.
 

Tidak diduga oleh siapapun yang keluar sebagai pemenang adalah si gemak putih itu. Dan sejak itu pula Ismoyo membikin jejak pada bibir kawah gunung Merapi di bagian Barat Daya sebagai batas antara dua kerajaan dan tempat mengalir lahar panas, lahar dingin, dan awan panas untuk sepanjang jaman. Sebelum ada perseteruan tersebut sampai turunnya Ismoyo ke bumi arah daripada letusan Merapi tidak ke Barat Daya melainkan mengarah ke segenap penjuru dan menyuburkan seluruh wilayah. Berkah Merapi tetap dapat dinikmati oleh seluruh penduduk sekeliling Merapi dengan aliran-aliran sungai yang memutari wilayah Barat, Selatan, Timur dan Utara.     

Ismoyo pun beberapa kali berganti wadag kasarnya atau bereinkarnasi dan di masa akhir kerajaan Majapahit beliau menyebut diri dengan nama baru Sabdo Palon. Sebagai pendamping Prabu Brawijaya yang sudah meninggalkan agama leluhur kemudian memeluk Islam maka pada 1478 Sabdo Palon bertitah di hadapan si momongannya. Titah Sabdo Palon bukanlah sebuah ramalan akan tetapi sebuah ucapan yang pasti terjadi sebagai berikut, "Yang Mulia harap mengingat kelak 500 tahun mendatang saya akan menyebarkan agama "kawruh budi" ke seluruh tanah Jawa. Bila saya dihalangi oleh pihak-pihak tertentu selama saya menyebarkan agama tersebut, maka akan saya hancurkan pihak tersebut menjadi makanan lelembut dan lain-lainnya. Saya belum merasa hati lega selama mereka belum hancur-lebur. Sebagai tanda titah saya ini akan berlaku kelak gunung Merapi meletus dibarengi memuntahkan lahar panas, lahar dingin, dan awan panas yang mengalir ke arah Barat Daya yang berbau menyengat. Saat itulah awal kehadiran saya dan memulai menyebarkan agama "kawruh budi". Menggelegarnya Merapi sudah menjadi takdir Sang Hyang Wenangin Jagad. Siklus bintang ialah siklus pergantian yang tidak bisa diubah lagi."

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.

KAMI UCAPKAN TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN ANDA DAN SUDI MEMBACA ARTIKEL-ARTIKEL YANG ADA PERJUANGAN KAMI TIDAK AKAN PERNAH BERHENTI KAMI TERUS AKAN MELAWAN SAMAPAI KAPANPUN BANTUAN DAN KEPEDULIAN MASYARAKAT SANGAT KAMI BUTUHKAN, DERITA KAMI JANGAN DI BAWA KE RANAH POLITIK

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More