Pakar konstruksi yang juga alumnus Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya, Djaja Laksana, mengatakan daerah yang rawan ambles atau
penurunan permukaan tanah (subsidence) tidak seperti yang
diperkirakan berbagai pihak. Daerah rawan ambles bisa mencapai radius 10
kilometer dari pusat semburan lumpur Lapindo.
Menurut Djaja Laksana, rongga di bawah permukaan tanah di kawasan
sekitar semburan diperkirakan semakin semakin melebar. “Dampaknya akan
semakin dahsyat karena hingga kini lumpur terus keluar dari pusat
semburan,” katanya, Selasa, 23 Agustus 2011.
Djaja Laksana mengingatkan, jalan tol Porong - Gempol, jalan arteri
sebagai pengganti Jalan Raya Porong, maupun rel kereta api yang kini
sedang dikerjakan, juga termasuk di daerah yang rawan ambles. Jika ingin
aman dari ancaman penurunan permukaan tanah, lokasi pembangunan jalan
tol, jalan arteri maupun rel kereta api harus digeser sampai melewati
radius 10 kilometer dari pusat semburan.
Seperti diberitakan sebelumnya, PT Jasa Marga sebagai pelaksana
pembangunan jalan tol Porong – Gempol untuk menggantikan jalan tol yang
ditenggelamkan lumpur Lapindo, telah memutuskan untuk mengubah desain,
terutama menggeser lokasi pembangunannya.
Desain semula, letak jalan tol baru itu sejauh 3 kilometer dari pusat
semburan. Namun tim kajian Institut Teknologi Bandung menilai jarak 3
kilometer dari pusat semburan rentan terjadi tanah ambles. Itu sebabnya
lokasinya digeser lebih jauh menjadi 4,5 kilometer. “Dengan dilakukannya
perubahan desain dengan menjauhkan lokasinya dari pusat semburan,
diharapkan jalan tol bertahan untuk masa waktu 40 tahun,” ujar Kepala
Sub Direktorat Perencanaan Teknik Bina Marga PT Jasa Marga, Arief
irianto, Kamis, 11 Agustus 2011.
Biaya pembangunan jalan tol baru tersebut mencapai Rp 800 miliar.
Pembangunannya direncanakan akan dimulai awal tahun 2012 sambil menunggu
tuntasnya pembebasan lahan.
Karena luasnya wilayah yang terancam ambles, menurut Djaja Laksana,
yang lebih dahulu harus dituntaskan adalah menghentikan keluarnya
semburan lumpur. Djaja Laksana adalah penemu metode bendungan Bernoulli untuk menghentikan semburan lumpur.
Djaja Laksana, pengusaha permesinan itu, kembali menegaskan bahwa bendungan Bernoulli merupakan metode terampuh untuk menghentikan semburan. Tingkat keberhasilannya mencapai 95 persen.
Djaja Laksana optimistis semburan dengan volume sekitar 120 ribu meter
kubik per hari itu bisa mampet. "Tak hanya menghentikan, tapi juga bisa
memasukkan kembali lumpur ke dalam perut bumi," paparnya.
Setelah semburan dihentikan, kawasan yang selama ini terendam lumpur
bisa diubah menjadi kawan bisnis dan wisata. Di lokasi itu bisa dibangun
berbagai fasilitas, seperti pusat perbelanjaan, hotel maupun pusat
kebugaran dan arena permainan anak.
Djaja Laksana juga menguraikan, keseluruhan dana yang dibutuhkannya
untuk menghentikan semburan lumpur mencapai Rp 4 triliun. ”Tahun 2006,
metode saya sudah saya tawarkan, tapi ditolak pemerintah, padahal saya
siapkan dana awal Rp 200 juta dari kantung pribadi," ucapnya.
Untuk menghentikan semburan dengan teori bernoulli,
Dajaja akan akan memasang bendungan yang terdiri dari batang pipa yang
dipasang mengelilingi pusat semburan. Deretan Pipa setinggi 50 meter,
masing-masing berdiameter 50 centimeter dengan ketebalan 20 meter.
Ketika rakitan pipa terpasang mengelilingi pusat semburan, lumpur tidak
akan mengalir meluas karena terhalang bendungan pipa. Dengan demikian
lumpur akan memenuhi bendungan. Setelah penuh, beban massa lumpur yang
ada dalam bendungan akan menutup lubang dan mematikan semburan. Dajaja
menjamin kecil kemungkinan akan timbul semburan serupa di lokasi lain.
Ketua Panitia Khusus Lumpur DPRD Kabupaten Sidoarjo, Mundzir Dwi
Ilmiawan, mempercayai paparan Daja Laksana. Menurut Mundzir, upaya PT
Jasa Marga menggeser lokasi jalan tol Porong-Gempol sejauh 4,5 kilometer
dari pusat semburan mengindikasikan bahwa daerah sekitar pusat semburan
belum aman. Padahal perubahan desain jalan tol ini menyedot anggaran
besar. "Berarti jalan arteri Porong juga tak aman," ujarnya.
Pembangunan jalan arteri Porong sepajang 7,1 kilometer menghabiskan
anggaran Rp 356 miliar. Proses pembangunannya pun belum tuntas karena
terkendala pembebasan lahan.
Juru Bicara Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS), Achmad
Kusairi, menyangkal pernyataan Djaja Laksana. Sebab, daerah yang
disiapkan untuk pembangunan jalan tol baru, jalan arteri, dan rel kereta
api aman dari ancaman penurunan permukaan tanah (subsidance).
Achmad Kusairi membuktikan pernyataannya dengan menunjukkan fakta tidak
adanya tanda-tanda keluarnya gelembung air bercampur lumpur (bubble) yang ekstrim di sekitar kawasan pembangunan tiga jalur jalan yang direncanakan dibangunan bersisian itu. "Bubble
yang muncul selama ini hanya terjadi di permukaan dan tak berbahaya.
Konstruksi jalan juga telah dirancang lebih kuat," tuturnya.
http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/08/23/brk,20110823-353212,id.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.