Ikan nila budidaya petani tambak di Desa Permisan, Kecamatan Jabon, mati
mendadak secara massal, Kamis, 8 September 2011. Kematian ikan terjadi
sejak 15 hari lalu dan itu diduga akibat air tercemar aliran air yang
berasal dari lumpur Lapindo.
Ikan
yang mati itu mengambang disertai bercak merah di sekujur tubuhnya.
Ikan yang mati rata-rata adalah ikan yang berumur tiga bulan dan
memasuki masa panen. Akibat insiden itu, sekitar 200-an petani tambak
mengaku merugi. Total tambak di Permisan seluas 875 hektare.
"Kematian ikan merata, total sekitar 10 ton," kata Umar Faruq, petani
tambak yang merugi hingga Rp 90 juta. Sebab, harga ikan di pasaran
sebesar Rp 9 ribu per kilogram. Ia memperkirakan kematian ikan
disebabkan buruknya kualitas air yang digunakan untuk mengaliri tambak
itu.
Menurut Umar, kualitas air sungai buruk karena tercemar aliran air yang
berasal dari lumpur Lapindo. Namun hingga kini belum ada penelitian
yang memastikan bahwa aliran lumpur Lapindo-lah yang mencemari tambak
warga. "Saya berharap Dinas Perikanan dan Kelautan turun tangan
mengatasi kematian ikan nila ini," katanya.
Selama ini, ikan nila dianggap paling kebal terhadap pencemaran air
sungai. Umar sendiri beralih membudidayakan ikan nila setelah ikan
bandeng dan udang yang dibudidayakannya mati serta pertumbuhannya
lambat. Dari 100 hektare tambak miliknya, keuntungannya berkurang hingga
Rp 1 miliar per tahun.
Kepala Seksi Budidaya Ikan, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sidoarjo, Septiwati, mengaku belum mendapat laporan dari penyuluh yang
bertugas di Permisan. Namun ia mengatakan akan segera memantau dan
mengecek ke lapangan. "Kita belum mengambil contoh ikan dan air untuk
meneliti di laboratorium," ujarnya.
Kepala Seksi Pengendalian Mutu Air, Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sidoarjo, Alfi Handayani, membantah jika air lumpur Lapindo
yang menyebabkan kematian ikan nila di Permisan. Sebab, konsentrasi
garam dalam air lumpur Lapindo mencapai 20 ppt atau 20 gram per liter
sehingga masih aman untuk budidaya ikan nila. "Sedangkan kandungan Hydrogen Sulfide (H2S) cepat menguap dan tak membahayakan ikan," ujarnya.
Alfi
menduga kematian ikan tersebut disebabkan petani tambak tak pernah
mereklamasi tambaknya. Akibatnya, terjadi kotoran ikan dan sisa makanan
menumpuk dan meracuni ikan. "Terjadi infeksi primer, bakteri cepat
berkembang saat ikan terluka," ujarnya.
Seharusnya,
kata dia, petani secara rutin mereklamasi tambak secara rutin untuk
membersihkan kotoran dan sisa makanan. Namun usai panen, petani tambak
langsung menebar benih sehingga persiapan lahan tambak tak sempurna yang
memicu berkembangnya penyakit dan bakteri.
http://www.tempointeraktif.com/hg/surabaya/2011/09/08/brk,20110908-355210,id.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima Kasih Sudah Rela Berkunjung di Blog Agustinus.